Walaupun sudah lama memegang sahamnya, sejujurnya saya belum begitu mengenal sosok direktur yang mengelola PT Jamu dan Farmasi Sido Muncul, Tbk. Saya hanya pernah membaca profil singkat para direktur tersebut dari laporan keuangan tahunan yang dirilis perusahaan.
Informasi yang disampaikan di dalamnya memang sangat terbatas, lebih mirip curriculum vitae. Nyaris tak ada informasi yang sifatnya personal, yang bisa ditemukan di situ.
Oleh sebab itu, saya merasa perlu mencari beragam informasi lain, karena kalau saya mengenal direkturnya lebih "dekat", saya bisa memperoleh penilaian lebih apakah ia adalah sosok manajer yang punya integritas dan kapasitas.
Beruntung, informasi yang saya cari bisa ditemukan dengan mudah di youtube. Di beberapa akun terdapat beberapa cuplikan wawancara Irwan Hidayat, salah satu direktur Sido Muncul. Sosok Irwan memang cukup familiar, sebab ia disebut-sebut sebagai sosok kunci kebangkitan Sido Muncul.
Satu video yang menarik perhatian saya adalah video yang berjudul Catatan Najwa Part 2: Ide-Ide Brilian Bos Sido Muncul. Di dalamnya Najwa Shihab berbincang-bincang singkat dengan Irwan tentang "resep sukses" dalam membesarkan perusahaan.
Setelah selesai menyaksikan video tersebut, saya baru mengetahui bahwa dulunya Sido Muncul ternyata pernah nyaris bangkrut. Ini membikin saya agak kaget, karena setahu saya, perusahaan Sido Muncul yang sekarang sahamnya tercatat di bursa efek indonesia dikenal sebagai perusahaan yang "tangguh".
Disebut demikian karena perusahaan jamu terbesar di Indonesia ini sama sekali tidak mempunyai utang bank. Ia hanya memiliki utang usaha, dan jumlahnya pun sangat kecil, sehingga bisa langsung lunas kalau perusahaan ingin membayarnya secara tunai.
Walaupun utangnya sangat sedikit, bukan berarti kinerja Sido Muncul tersendat. Yang terjadi justru sebaliknya, kinerjanya terbilang cemerlang pada tahun 2019, sebab penjualannya tembus hingga 3 trilun rupiah, dan labanya mencapai 800-an miliar rupiah. Dengan kondisi demikian, Sido Muncul sangat jauh dari kata bangkrut.
Prestasi yang berhasil diukir oleh Sido Muncul sejatinya merupakan akumulasi kerja keras pada masa lalu. Beragam jenis pengalaman, termasuk yang "pahit" sekalipun, boleh jadi memberi andil dalam membentuk perusahaan pada saat ini.
Andaikan dulu manajemen Sido Muncul "angkat tangan" dalam menghadapi utang yang nilainya ratusan miliar rupiah, sepertinya mustahil akan tercipta perusahaan yang tangguh seperti sekarang.
Pengalaman nyaris bangkrut, yang sempat dialami Sido Muncul pada tahun 2004, memberi pelajaran yang begitu berharga. Setelah sukses mengatasi masalah tersebut, manajemen jadi lebih bijak dalam berutang.
Agaknya pengalaman terlilit utang yang besar menyisakan "trauma" bagi manajemen sehingga mengambil utang dengan lebih cermat dan hati-hati. Makanya, jangan heran, setelah menggelar IPO pun, perusahaan tetap menjaga kebiasaan berutang yang sangat konservatif.
Pengalaman tersebut tak hanya dialami Sido Muncul, tetapi juga perusahaan lain. Ingat Grup Salim, yang pada tahun 1998 bisnisnya mengalami krisis parah? Pada waktu itu, utang-utangnya bertumpuk. Kolektor terus mengantre untuk menagih utang.
Kondisi keuangannya pun sangat kacau dan amburadul. Dengan kondisi demikian, perusahaan-perusahaan di bawah naungan Grup Salim berada di ambang kebangkrutan.
Untuk membayar utang-utangnya, Grup Salim terpaksa melepas sejumlah perusahaannya, seperti Bank BCA dan Indocement. Setelah bebas dari jerat utang, manajemen Grup Salim kemudian "kapok" mengambil utang dalam jumlah besar.
Jadi, jangan heran kalau kini hampir semua perusahaan yang dimiliki Grup Salim mempunyai rasio utang yang rendah. Agaknya inilah kebijakan yang telah "digariskan" oleh perusahaan induk agar peristiwa buruk yang terjadi pada masa lalu tidak lagi terulang.
Grup Ciputra juga pernah mengalami hal yang sama. Seperti Grup Salim, grup yang memayungi banyak perusahaan properti ini pun hampir kolaps dihajar utang. Tahun 1998 menjadi titik nadir bagi grup ini karena utang-utangnya menggelembung dalam waktu singkat.
Beruntung grup ini bisa bertahan setelah Ciputra berhasil meyakinkan krediturnya bahwa ia akan melunasi utang-utangnya secara bertahap. Para krediturnya setuju mengingat Ciputra adalah orang yang berintegritas. Ia tidak akan ingkar janji dan kabur dari tanggung jawabnya.
Dengan susah payah, akhirnya Grup Ciputra menata bisnisnya kembali. Utang-utangnya dibayar perlahan, dan selebihnya peristiwa itu menyisakan sebuah pengalaman berharga yang akan terus diingat para manajemen.
Seperti Sido Muncul dan Grup Salim, Grup Ciputra pun belajar mengendalikan utang-utangnya. Tidak heran kalau perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh ciputra umumnya mempunyai tingkat utang yang sangat rendah. Seburuk apapun situasi yang terjadi, manajemen tidak tergiur untuk meminjam lebih banyak uang dari bank.
Pengalaman buruk memang membikin kita menjadi lebih bijak. Pengalaman buruk dapat menjadi "guru" yang memberikan pelajaran yang berharga. Tanpa mengalami pengalaman yang buruk, sepertinya sulit bagi kita untuk terus bertumbuh. Jadi, seburuk apapun pengalaman yang didapat, kita bisa saja memetik sebuah hikmah, sehingga bisa berkembang lebih kuat pada masa depan.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H