Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Seperti Bisnis, Juventus Perlu "Mendiversifikasi" Ronaldo?

19 Februari 2020   09:01 Diperbarui: 19 Februari 2020   16:04 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil Liga Italia: Tanpa Ronaldo, Juventus Vs Brescia 2-0

Demikian judul artikel yang saya baca di situs tempo.co. Sebetulnya tak ada yang aneh dengan judul tersebut. Semuanya tampak wajar-wajar saja.

Namun, kalau kita mencermati lebih dalam, judul tersebut seolah menekankan suatu hal. Bahwa Cristiano Ronaldo mempunyai peran yang sangat vital bagi Juventus, sehingga kemenangan yang diraih Juventus tanpa peran Ronaldo adalah sebuah fenomena yang luar biasa!

Hal ini tidak terlalu berlebihan mengingat Ronaldo adalah "mesin gol" yang sangat subur bagi Juventus. Pada musim ini saja, mantan pemain Real Madrid tersebut telah menyumbang 20 gol dalam 24 pertandingan yang dilakoninya bersama Juve. Dengan torehan tersebut, jangan heran, kalau kehadiran Ronaldo selalu ditunggu-tunggu. Tanpa Ronaldo, permainan yang diusung juve seolah menjadi begitu "kering".

Hal tersebut membikin Juve terlihat sangat bergantung pada Ronaldo. Sebetulnya kondisi ini boleh dibilang tidak sehat untuk sebuah tim. Sebab, kalau Ronaldo mengalami cedera panjang, sementara tidak ada pemain yang bisa menggantikan perannya, produktivitas gol yang dicetak klub bisa menurun tajam.

Untuk mencegah peristiwa tersebut, pelatih sebaiknya tidak terlalu bergantung pada satu pemain, dan lebih memberi kesempatan kepada pemain lagi, sehingga kekuatan tim menjadi lebih merata.

Dalam dunia bisnis, hal ini disebut sebagai diversifikasi. Diversivikasi dilakukan dengan cara menyebar portofolio ke beberapa sektor yang berbeda. Tujuannya untuk meminimalkan risiko. Kalau satu sektor terhantam krisis, masih ada sektor lain yang bisa mem-backup kerugian yang diakibatkan krisis tadi.

Ada sejumlah perusahaan yang telah melakukan diversifikasi. Sebut saja Astra Internasional. Awalnya kita mengenal Astra sebagai perusahaan otomotif. Perusahaan yang didirikan oleh William Soerjadjaya ini memproduksi dan mendistribusikan beragam jenis kendaraan, seperti mobil, motor, dan alat berat.

Seiring berjalannya waktu, manajemen Astra kemudian melakukan diversifikasi dengan memasuki sektor usaha lain. Selain bisa mengantisipasi penurunan tren industri otomotif pada masa depan, keputusan ini dianggap mampu mengembangkan usaha.

Astra kemudian merambah sektor usaha yang dinilai potensial, seperti tambang batubara, perkebunan kelapa sawit, hingga yang teranyar properti.

Oleh karena menjajal beragam lini bisnis, Astra pun mengalami transformasi dari perusahaan otomotif menjadi perusahaan holding. Hal ini tentu mempunyai plus-minus.

Plusnya, Astra menjadi perusahaan besar yang susah roboh. Alasannya? Karena ia didukung oleh beragam lini usaha.

Jadi, saat satu lini usaha yang dimilikinya sedang kolaps, masih ada lini usaha lain yang mampu menggantikan kerugian yang ditimbulkannya. Dengan demikian, dalam situasi yang terburuk sekali pun, perusahaan berkapitalisasi sebesar 300-an tririun rupiah ini mampu bertahan.

Minusnya, harga saham Astra cenderung berjalan di tempat. Perhatikanlah pergerakan saham Astra selama 5 tahun terakhir. Harganya hanya bergerak dalam rentang 5700-8400. Tidak banyak berubah kan?

Hal ini terjadi lantaran laba yang dicetak Astra susah bertumbuh, karena ketika ada anak usahanya yang mencetak untung besar, keuntungan tadi tergerus oleh kerugian yang dialami anak usaha lain.

Prinsip diversifikasi yang dilakukan oleh manajemen Astra bisa juga dipakai untuk meminimalkan risiko investasi. Mekanismenya sama. Investor menyebarkan dananya ke berbagai instrumen yang berbeda.

Semua disesuaikan dengan profil risiko investor masing-masing. Investor yang profil risikonya konservatif, misalnya, bisa menempatkan 80% dananya di instrumen investasi yang relatif aman, seperti deposito, obligasi pemerintah, emas, tanah, dan reksadana pasar uang. Sisa uangnya baru dipakai untuk berinvestasi di instrumen yang lebih berisiko, seperti saham atau reksadana saham.

Kemudian, investor yang profil risikonya moderat bisa membagi modalnya 50-50 ke instrumen yang aman dan instrumen yang berisiko. Porsinya bisa disesuaikan dengan kecocokan dan kenyamanan investor yang bersangkutan.

Sementara, investor yang profil risikonya agresif bisa mengalokasikan mayoritas uangnya ke saham. Hanya ingat, jangan menaruh semua dana tadi di satu saham saja. Investor perlu menyebar di beberapa saham bluechip dan second liner.

Sebagaimana disebutkan di atas, diversifikasi sejatinya dilakukan untuk membangun jaring pengaman. Apapun bentuknya, apakah itu sebuah klub sepakbola ataukah sebuah perusahaan multinasional, diversifikasi patut diterapkan untuk menghindari ketergantungan pada suatu sektor.

Lebih jauh, hal ini membikin semua lini menjadi lebih merata. Kalau semuanya berimbang tentu akan baik dampaknya. Sebab, apapun situasi yang terjadi, risiko yang muncul bisa terkendali dan teratasi dengan baik.

Salam

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun