Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama FEATURED

Kiat Membeli "Perusahaan Franchise" dengan Harga yang Wajar

30 Januari 2020   09:01 Diperbarui: 22 September 2021   08:00 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perusahaan franchise (sumber: https://www.merchantmaverick.com/)

"It's far better to buy a wonderful company at fair price than fair company at wonderful price"

Warren Buffett

Tulisan ini sebetulnya lahir dari "kegalauan" saya karena selalu gagal membeli saham BBCA (PT Bank Central Asia Tbk) di harga yang murah. Sudah sejak lama, saya memang mengincar saham ini. Alasannya? Saham ini mempunyai fundamental yang kuat dan terus bertumbuh dari waktu ke waktu.

Hal itu tentu bisa dimaklumi karena perbankan adalah sektor usaha yang selalu dibutuhkan oleh masyarakat. Berbeda dengan masa lalu, yang mana mayoritas transaksi keuangan dilakukan secara tunai, sekarang semua urusan pembayaran bisa diselesaikan secara kredit, debet, atau transfer. Berkat jasa bank, transaksi tadi menjadi lebih mudah, murah, dan aman.

Oleh sebab itu, industri perbankan boleh dibilang hampir tidak ada matinya. Industri ini sudah ada pada masa lalu, tetap berkembang pada masa kini, dan akan terus bertumbuh pada masa depan. 

Makanya, jangan heran, di Bursa Efek Indonesia, saham-saham perbankan mendominasi kekuatan kapitalisasi pasar, sekaligus mengindikasikan bahwa jumlah bank terus bertambah dari waktu ke waktu.

Di antara sekian banyak saham di sektor perbankan, terdapat beberapa saham yang selalu jadi "langganan" para investor. Salah satunya ya saham BBCA tadi. Karena ada begitu banyak investor yang berminat memilikinya, sahamnya pun dipatok dengan harga premium.

Saat tulisan ini dibuat, saham BBCA dihargai Rp 34.000-an per lembar. Bagi investor ritel, pembelian saham ini jelas memerlukan anggaran yang besar, sebab untuk memperoleh 1 lot saham saja, investor mesti menggelontorkan uang sebesar Rp 3,4 juta.

Belum lagi, dari segi valuasinya, saham ini cenderung sudah kemahalan karena PBV-nya mencapai 4,9 x. Dengan PBV tersebut itu artinya investor bersedia membayar 4-5 kali lipat lebih mahal dari nilai bukunya.

Membeli saham yang bagus dengan harga yang mahal jelas bukan keputusan yang bijak. Sebab, akan butuh waktu yang lama untuk bisa balik modal. Semakin mahal valuasi sahamnya, semakin lama waktu yang diperlukan agar investasi yang dilakukan menemukan "titik impas".

Selain itu, saham yang valuasinya sudah mahal cenderung susah naik harganya. Kalau kinerja perusahaan terus moncer pada periode berikutnya, hal itu tentu tidak jadi soal.

Namun, jika yang terjadi justru sebaliknya, bisa-bisa harga sahamnya turun, dan modal yang ditanamkan investor jadi "nyangkut". Oleh sebab itu, lebih baik, investor menunggu sampai harga sahamnya turun, sehingga valuasinya menjadi wajar, baru kemudian membeli saham tersebut.

Biarpun bisa mengurangi risiko, bukan berarti keputusan tersebut memberi investor lebih banyak keuntungan. Sebab, walaupun sudah ditunggu sekian lama, belum tentu harga sahamnya akan turun. Bisa saja, yang terjadi justru sebaliknya.

Hal itulah yang sempat saya alami pada tahun lalu. Saya ingat, pada pertengahan tahun 2019, IHSG sedang dibuat "galau" oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Biarpun secara fundamental masih baik, mayoritas harga saham, termasuk BBCA, ikut tertekan. Alhasil, saham BBCA pun sempat terjerembab ke harga Rp 29 ribuan.

Seorang teman kemudian mengirim pesan whatshap kepada saya. Ia menyarankan saya untuk segera membeli saham BBCA karena harganya sudah "murah".

ilustrasi perusahaan franchise (sumber: https://www.merchantmaverick.com/)
ilustrasi perusahaan franchise (sumber: https://www.merchantmaverick.com/)

Namun, saya enggan "menyerok" saham tersebut di harga segitu karena merasa bahwa valuasinya masih kemahalan. Saya memutuskan menunggu, seraya berharap harganya turun hingga Rp 25 ribuan. Pada saat itulah, saya anggap harganya sudah wajar, dan saya akan membelinya.

Hasilnya? Alih-alih jatuh, harga saham BBCA kemudian malah "lepas landas"!

Akibat melewatkan kesempatan tadi, saya jelas telah mengalami kerugian yang disebut "loss oportunity cost". Saya memang tidak rugi dari segi materi, tetapi dari segi waktu, iya. Ah, andaikan dulu saya memutuskan membeli sahamnya, tentu sekarang saya sudah menikmati "cuan" yang lumayan!

Perusahaan Franchise

Jika kita melihat kinerjanya dari tahun ke tahun, Bank BCA boleh disebut sebagai "perusahaan franchise". Istilah ini sejatinya dipopulerkan oleh Warren Buffett. Buffett menggunakan istilah ini untuk menggambarkan sebuah perusahaan yang berfundamental bagus dan mampu bertahan lama.

"Perusahaan franchise" bisa dikenali lewat sejumlah indikator. Salah satunya ialah Return on Equity (ROE). "Perusahaan franchise" umumnya mempunyai ROE di atas 20% lebih. 

Besaran ROE ini pun konsisten diraih dari tahun ke tahun. Oleh karena mampu mencetak laba dalam jumlah besar secara teratur, jangan heran, ada begitu banyak investor yang berminat membeli sahamnya.

Sesuai dengan hukum ekonomi, semakin banyak peminat, tentu semakin mahal pula harga sebuah saham. Hal itu jelas berimbas pada valuasi harganya. Kalau kita melihat valuasi BBCA, misalnya, PBV-nya dalam 10 tahun terakhir tidak pernah dihargai di bawah 1 kali. Paling "mentok" PBV BBCA berada di angka 3 kali, dan itu pun terjadi pada tahun 2016 ketika bursa saham mengalami krisis yang hebat!

Hal itu memberi "rambu-rambu" bahwa kita mesti sabar menunggu terjadinya krisis hebat yang bisa meruntuhkan bursa seperti beberapa tahun silam kalau kita benar-benar ingin membeli saham BBCA di harga yang sangat "murah" dan sayangnya hal itu belum akan terjadi dalam waktu dekat!

Oleh sebab itu, membeli saham "perusahaan franchise", seperti Bank BBCA, bukanlah perkara mudah. Dalam kondisi pasar yang cenderung bullish, hampir mustahil kita dapat memborong saham tersebut di harga yang wajar.

Pembelian di harga yang wajar baru dapat dilakukan dalam kondisi pasar yang "super bearish". Pada saat itulah, semua saham biasanya dihargai sangat rendah. Namun demikian, dalam kondisi "mencekam" demikian, beranikah kita tetap membeli saham tersebut?    

Standar Deviasi

Sayangnya, kesempatan tersebut tidak datang setiap tahun. Hanya pada tahun-tahun tertentu kesempatan itu muncul. Sebut saja krisis ekonomi yang melanda bursa saham pada tahun 2008 silam. 

Pada saat itu, mayoritas harga saham berguguran, dan hal itu membuka peluang untuk membeli saham yang bagus di harga yang "super diskon".

Namun, krisis tersebut belum tentu akan terulang pada tahun ini. Biarpun disebut-sebut tahun 2020 akan terjadi "krisis", nyatanya, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tersebut.

Lantas, tak adakah kesempatan untuk membeli saham yang bagus dengan harga yang wajar dalam waktu dekat? Kesempatan semacam itu sebetulnya masih terbuka. Sebab, di bursa saham, sering terjadi penurunan harga yang terbilang kecil. Hal itu masih memberi kesempatan kepada investor untuk membeli di harga yang lebih rendah.

Oleh sebab itu, dalam menilai harga wajar sebuah saham yang memiliki "franchise" yang kuat, saya cenderung menggunakan standar deviasi. Standar deviasi adalah rata-rata valuasi saham yang diukur dalam rentang waktu tertentu.

Indikator yang dipakai adalah PBV dan Price Earning Ratio (PER). Di antara keduanya, saya lebih suka menggunakan standar deviasi PBV karena lebih akurat menggambarkan valuasi saham daripada PER.

Sebagai contoh, katakanlah selama 10 tahun sebuah saham mempunyai PBV sebagai berikut: 2, 2, 3, 4, 3, 2, 1, 1, 2, 2. Berdasarkan standar deviasinya, harga wajar saham tadi adalah 2,2. Angka ini didapat dari penjumlahan semua PBV di atas, kemudian dibagi 10 (jumlah tahun).

Berdasarkan standar deviasi tersebut, kalau saham tadi sekarang PBV-nya adalah 3, berarti valuasinya boleh dibilang mahal. Sebaliknya, jika suatu saat angkanya di bawah 2.2, harganya sudah murah.

Penghitungan ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui harga wajar sebuah saham yang termasuk "perusahaan franchise". Sebab, untuk perusahaan jenis ini, hampir mustahil, PBV-nya berada di bawah 1 kali. Selama perusahaan tadi mempunyai kemampuan untuk mencetak laba yang tinggi, valuasinya akan terus dihargai mahal.

Sementara, untuk perusahaan komoditas, seperti batu bara, minyak, dan kelapa sawit, metode penghitungan ini tidak cocok diterapkan. Sebab, perusahaan tersebut tidak mempunyai riwayat konsistensi dalam menghasilkan laba. Biasanya pendekatan yang dipakai cukup PBV saja.

Sampai sekarang saya masih menanti terjadinya koreksi bursa, yang menyebabkan semua harga saham, termasuk BBCA, mengalami penurunan. 

Memang koreksi itu tidak mengempas harga saham hingga ke titik nadir, tetapi setidaknya hal itu bisa membuka sedikit celah untuk membeli sebuah saham dari perusahaan yang bagus dengan harga yang wajar.  

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun