Sewaktu saya masih duduk di bangku kuliah, seorang dosen pernah berkata bahwa karya seni bisa menjadi alat propaganda. Karya seni dapat dipakai untuk menyebarkan sebuah pesan yang bertujuan meyakinkan atau memengaruhi masyarakat untuk melakukan suatu perbuatan.
Awalnya saya kurang begitu paham maksud dari perkataan tersebut, karena dosen saya tidak memberi contoh yang spesifik. Tanpa menyebut karya seni mana yang termasuk propaganda, pemahaman saya menjadi "dangkal". Namun, belakangan, setelah selesai menonton film Ip Man 4: The Finale, saya baru bisa memahami maksudnya dengan lebih jelas.
Alih-alih menghadirkan drama yang sarat emosi, film Ip Man 4 justru lebih banyak memunculkan aspek propaganda di dalamnya. Propaganda yang dimaksud tentu adalah ihwal perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang sudah berkecamuk selama berbulan-bulan.
Biarpun di dalam film tidak disebutkan embel-embel "perang dagang", tetapi cerita yang disajikan tetap menyinggung hal tersebut. Aroma perang dagang mulai terendus, ketika Ip Man, yang diperankan oleh Donnie Yen, mengunjungi Amerika Serikat pada tahun 1960-an.
Kedatangan Ip Man bertujuan menghadiri undangan siswanya, Bruce Lee (Kwok Kwan Chan), sekaligus mencarikan anaknya sekolah di Amerika Serikat. Sewaktu Ip Man datang, Bruce Lee memang sedang merintis karier sebagai guru bela diri. Dalam film ini, Bruce Lee disebut-sebut ingin mengenalkan seni bela diri Tiongkok, karena pada saat itu, seni ini masih belum banyak diketahui oleh masyarakat AS.
Namun, membuka sebuah perguruan bela diri, terutama di negara orang lain, bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Selalu saja ada pihak yang tidak senang pada upaya yang dilakukan Bruce Lee. Alih-alih membantu, pihak tersebut justru ingin meruntuhkan semua yang telah dibangun olehnya.
Salah satunya ialah Wan Zong Hua (Yue Wu). Sebagai seorang Master Tai Chi sekaligus Ketua Perserikatan Imigran Tionghoa, ia merasa keberatan dengan sikap Bruce Lee. Bruce Lee dianggap terlalu menyombongkan diri sebagai representasi seni bela diri Tiongkok dan berani mengajarkan Kung Fu kepada orang asing.
Meskipun mendapat pertentangan, Ip Man tetap membela muridnya. Ia merasa tidak ada salahnya jika Bruce Lee mencoba mengajarkan seni bela diri dan menerima orang asing sebagai murid.
Pembelaan itu tentu saja memicu konflik baru. Akibat hal tersebut, Ip Man jadi sulit mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah karena kepala sekolah meminta surat rekomendasi dari Wan Zong Hua.
Ip Man sadar bahwa Wan Zong Hua tidak akan memberinya surat rekomendasi itu dengan mudah, tetapi untungnya, Ip Man menolong anak Wan, Yonah (Vanda Margraf), saat ia sedang di-bully oleh teman-teman kelasnya dan hal itu selanjutnya mengubah jalan cerita.
Kalau dibandingkan dengan sekuel-sekuel sebelumnya, film Ip Man 4 lebih banyak menonjolkan aksi. Dalam 104 menit penayangan, sekitar 75%-nya diisi oleh adegan baku-pukul. Bagi orang yang senang menyaksikan Ultimate Fighting Championship, film ini mungkin sangat menghibur. Namun, menurut saya, dengan begitu banyaknya adegan aksi, film ini jadi "kering" emosi.
Makanya, di mata saya, film ini menjadi kurang bermakna. Hampir tak ada amanat yang saya dapat setelah selesai menonton film ini. Hal ini sungguh disayangkan, mengingat ini adalah film penutup dari perjalanan hidup seniman bela diri legendaris dari Negeri Tirai Bambu, Ip Man.
Saya pribadi tidak tahu alasan sutradara Wilson Yip lebih mengutamakan "laga" daripada "drama" dalam mengembangkan alur cerita. Mungkin Wilson melihat bahwa pertempuran Ip Man, terutama dengan Barton Geddes (Scott Adkins), seorang tentara Amerika Serikat yang sangat jago bela diri, menjadi sebuah upaya propaganda dalam menyuarakan "penindasan ekonomi" yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Tiongkok.
Kalau hal itu benar adanya, sosok Ip Man yang sebelumnya kalem dan rendah hati telah berubah menjadi sebuah "alat" untuk menyampaikan kepentingan tertentu. Ip Man yang dianggap sebagai representasi Tiongkok hadir menantang Geddes yang mewakili Amerika Serikat dalam sebuah duel, untuk membela para master bela diri Tiongkok lain yang sudah dihajar dan dipermalukan sebelumnya oleh Geddes.
Aroma propaganda inilah yang kemudian menyulut polemik, seperti yang terjadi di Hong Kong. Masyarakat Hong Kong, terutama yang pro Amerika Serikat, menilai bahwa film ini telah disusupi oleh kepentingan politik. Netralitas film ini dipertanyakan. Makanya, jangan heran, kalau penayangan film ini sempat diboikot!
Sebagai seorang penikmat film, adanya propaganda tertentu jelas "mencemari" kualitas film. Sebab, propaganda itu mirip iklan, dan sebagai penonton, kita sudah bosan dijejali iklan, termasuk yang disampaikan dengan cara yang halus, sehingga tanpa sadar kita mencernanya di pikiran bawah sadar.
Ah, andaikan di bioskop terdapat fitur "ad-block" yang bisa memblokir "iklan-iklan" demikian, film Ip Man 4 tentu akan jauh lebih nikmat ditonton!
Salam.
Referensi: kompas.com. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H