Makanya, di mata saya, film ini menjadi kurang bermakna. Hampir tak ada amanat yang saya dapat setelah selesai menonton film ini. Hal ini sungguh disayangkan, mengingat ini adalah film penutup dari perjalanan hidup seniman bela diri legendaris dari Negeri Tirai Bambu, Ip Man.
Saya pribadi tidak tahu alasan sutradara Wilson Yip lebih mengutamakan "laga" daripada "drama" dalam mengembangkan alur cerita. Mungkin Wilson melihat bahwa pertempuran Ip Man, terutama dengan Barton Geddes (Scott Adkins), seorang tentara Amerika Serikat yang sangat jago bela diri, menjadi sebuah upaya propaganda dalam menyuarakan "penindasan ekonomi" yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Tiongkok.
Kalau hal itu benar adanya, sosok Ip Man yang sebelumnya kalem dan rendah hati telah berubah menjadi sebuah "alat" untuk menyampaikan kepentingan tertentu. Ip Man yang dianggap sebagai representasi Tiongkok hadir menantang Geddes yang mewakili Amerika Serikat dalam sebuah duel, untuk membela para master bela diri Tiongkok lain yang sudah dihajar dan dipermalukan sebelumnya oleh Geddes.
Aroma propaganda inilah yang kemudian menyulut polemik, seperti yang terjadi di Hong Kong. Masyarakat Hong Kong, terutama yang pro Amerika Serikat, menilai bahwa film ini telah disusupi oleh kepentingan politik. Netralitas film ini dipertanyakan. Makanya, jangan heran, kalau penayangan film ini sempat diboikot!
Sebagai seorang penikmat film, adanya propaganda tertentu jelas "mencemari" kualitas film. Sebab, propaganda itu mirip iklan, dan sebagai penonton, kita sudah bosan dijejali iklan, termasuk yang disampaikan dengan cara yang halus, sehingga tanpa sadar kita mencernanya di pikiran bawah sadar.
Ah, andaikan di bioskop terdapat fitur "ad-block" yang bisa memblokir "iklan-iklan" demikian, film Ip Man 4 tentu akan jauh lebih nikmat ditonton!
Salam.
Referensi: kompas.com. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H