Wajah Lee Kang Hyung terlihat sendu. Di depan awak media yang mengerubunginya, lelaki yang menjabat sebagai Vice President Samsung Indonesia ini menceritakan "pengalaman pahit" sewaktu menjadi nasabah Jiwasraya.
Lee mengaku membeli polis asuransi dari Jiwasraya pada tahun 2017 silam. Ia mendapatkan produk tersebut dari Bank Hana, yang menjadi mitra Jiwasraya dalam hal pemasaran produk.
Tanpa menaruh curiga, Lee menginvestasikan dana sebesar Rp 16 miliar untuk membeli produk asuransi tersebut. Ia berani menggelontorkan uang sebesar itu karena diyakinkan bahwa Jiwasraya adalah badan usaha milik negara, dan kalau terjadi masalah keuangan, pemerintah pasti akan turun tangan. Semua pasti "aman".
Awalnya semua investasi yang dilakukan Lee di Jiwasraya berjalan normal. Tidak ada desas-desus atau "kabar miring" yang masuk ke telinganya, sehingga ia bisa tidur nyenyak tanpa khawatir memikirkan keamanan investasinya.
Namun, sayangnya, hal itu hanya berlangsung sebentar saja. Sebab, pada tahun ini, Jiwasraya diberitakan mengalami gagal bayar polis asuransi. Sebagai nasabah, Lee tentu saja mencari kejelasan atas nasib investasinya.
Selain Lee, ada 473 warga Korea Selatan lain yang menanggung persoalan yang sama. Jika semua ditotal, jumlah dana yang terancam gagal bayar mencapai Rp 502 miliar! Jumlah ini belum termasuk nasabah lain, sehingga nominalnya akan tambah membengkak apabila dikalkulasi secara keseluruhan.
Sampai tulisan ini dibuat, kasus ini masih dalam tahap penyelidikan. Otoritas berwenang sedang mengumpulkan data-data terkait.
Makanya, dana nasabah yang mengendap di perusahaan asuransi pelat merah itu belum bisa dipastikan nasibnya. Boleh jadi, nasabah mesti menunggu sekian bulan atau tahun untuk mendapatkan haknya kembali.
Kalau kasus ini dibiarkan tanpa kejelasan, industri asuransi di Indonesia bisa "tercoreng", dan hal itu akan berdampak buruk bagi perekonomian.
Ekuitas Negatif
Untuk menjaga kestabilan industri asuransi di tanah air, pemerintah sebetulnya bisa mengulurkan bantuan. Namun, sepertinya bantuan tersebut urung diberikan karena jumlah dana yang diperlukan untuk menyelamatkan Jiwasraya terbilang sangat besar, yakni 23 triliun rupiah!
Angka itu muncul saat kita melihat neraca Jiwasraya. Di dalam neraca, Jiwasraya tercatat mempunyai aset sebesar Rp 25 triliun, sementara liabilitasnya Rp 49 triliun!
Jelas ini bukan kondisi neraca yang baik. Dalam akuntansi, jumlah aset idealnya lebih besar daripada liabilitas.
Sementara, kalau yang terjadi justru sebaliknya, bagaimana perusahaan bisa diselamatkan? Dengan jumlah utang yang sedemikian besar dan "napas" bisnis yang sedang terengah-engah, sepertinya hampir tidak ada investor yang mau menyuntikkan modal untuk menutupi kerugian tersebut!
Itulah yang terjadi dalam neraca keuangan Jiwasraya. Kalau situasi demikian, yang dirugikan tak hanya nasabah yang mengalami gagal bayar, tetapi juga pemerintah Indonesia sebagai pemilik perusahaan.
Salah Investasi
Masalah keuangan yang menjerat Jiwasraya ibarat sebuah "gunung es". Biarpun baru terlihat sekarang, masalah ini sebetulnya telah muncul dan berakumulasi sejak bertahun-tahun silam.
Kalau ditelusuri akarnya, masalah tersebut berawal ketika manajemen melakukan investasi tanpa pertimbangan yang matang. Walaupun sudah menyebar dana kelolaan ke sejumlah instrumen investasi, bukan berarti keputusan yang dibuat manajemen bebas dari kesalahan.
Sebut saja investasi yang dilakukan manajemen Jiwasraya di pasar saham. Manajemen diketahui mengalokasikan dana sebesar Rp 5,7 triliun untuk membeli saham.
Pilihan investasi di saham sebetulnya tidak salah, karena saham adalah instrumen yang bisa memberi imbal hasil yang paling besar di antara instrumen lainnya, tetapi masalahnya, manajemen justru memilih "saham-saham gorengan" yang punya "kolesterol tinggi", alih-alih saham bluechip yang memiliki fundamental kuat.
Mengapa manajemen Jiwasraya enggan mengisi portofolionya dengan saham-saham unggulan yang jelas lebih aman dan lebih menyukai berinvestasi di saham-"saham gorengan" tersebut? Jawabannya terletak pada keinginan manajemen untuk memperoleh imbal hasil besar dalam waktu cepat.
Maklum, saham-saham tersebut memang bisa memberikan "cuan" yang sangat besar. Potensi capital gain yang diperoleh bisa mencapai puluhan persen, dan keuntungan ini dapat diraih dalam waktu yang relatif singkat.
Meski begitu, bukan berarti saham-saham ini bebas risiko. Risiko yang sangat mungkin dialami investor ialah capital loss yang sangat dalam, hingga kisaran puluhan persen! Makanya, kalau salah memilih saham, alih-alih menuai untung, investor malah bisa menanggung rugi yang sangat besar!
Hal itulah yang mungkin luput dari perhatian manajemen Jiwasraya. Faktor risiko yang besar sepertinya dikesampingkan karena manajemen terlalu antusias memburu keuntungan besar di pasar saham.
Hasilnya tentu sudah bisa ditebak. Saham-saham yang dibeli Jiwasraya terjun bebas. Saham sugih yang diborong di harga Rp 470 sekarang masuk "klub gocap" (-88%), saham trio yang dikoleksi di harga Rp 2.000 kini amblas ke harga Rp 426 (-78%), dan saham lcgp yang diraup di harga Rp 620 saat ini "terkapar" di harga Rp 114 (-81%)!
Sampai sekarang, belum ada kabar apakah saham-saham tadi akan dijual atau terus ditahan. Ini menjadi dilema tersendiri. Kalau mesti dilepas untuk menutupi utang, sudah pasti, Jiwasraya akan kehilangan uang yang sangat banyak, sementara jika terus disimpan, dengan capital loss sedalam itu, sepertinya akan sulit harganya bisa terangkat dalam waktu dekat!
Sebuah Pelajaran
Kasus yang membelit Jiwasraya bisa memberi pelajaran yang berharga baik kepada nasabah maupun manajemen. Bagi nasabah, kejelian dan ketelitian dalam membeli produk investasi jelas perlu dilakukan.
Kebiasaan "asal pilih investasi" atau "hanya ikut-ikutan teman" mesti ditinggalkan agar perjalanan investasi yang dilakukan mempunyai akhir cerita yang indah.
Oleh sebab itu, sebelum membuat sebuah keputusan investasi, kita mesti menyelidiki rekam jejak manajemennya terlebih dulu. Jangan sampai ada "catatan negatif" yang ditemukan karena hal itu akan membahayakan keamanan investasi kita.
Sementara, bagi manajemen, prinsip tata kelola yang baik harus dijalankan. Persoalan yang dialami Jiwasraya tak hanya terjadi karena manajemen salah melakukan investasi, tetapi juga keliru mengelola perusahaan.
Selama bertahun-tahun, manajemen Jiwasraya menutupi "rapor merah" investasi yang dilakukan, sehingga hampir tak ada satu pun yang bisa "mengendus" persoalan tersebut.
Namun, ibarat pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat, toh suatu saat akan jauh juga. Demikian pula, serapat apapun usaha manajemen Jiwasraya dalam menyembunyikan capital loss di portofolionya, ujung-ujungnya, hal itu akan terkuak juga.
Dengan terbongkarnya kasus ini, jelas, tak hanya nasabah dan negara yang dirugikan, tetapi industri asuransi juga akan terkena getahnya. Akibatnya, investor mungkin berpikir seribu kali untuk membeli produk asuransi dari perusahaan lokal.
Kalau hal itu terus terjadi, industri asuransi tentu bisa goyang, atau bahkan rontok, dan akan butuh waktu yang sangat lama untuk membersihkan nama baik industri asuransi tanah air yang sedang tercoreng akibat kasus ini.
Salam.
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H