Untuk menjaga kestabilan industri asuransi di tanah air, pemerintah sebetulnya bisa mengulurkan bantuan. Namun, sepertinya bantuan tersebut urung diberikan karena jumlah dana yang diperlukan untuk menyelamatkan Jiwasraya terbilang sangat besar, yakni 23 triliun rupiah!
Angka itu muncul saat kita melihat neraca Jiwasraya. Di dalam neraca, Jiwasraya tercatat mempunyai aset sebesar Rp 25 triliun, sementara liabilitasnya Rp 49 triliun!
Jelas ini bukan kondisi neraca yang baik. Dalam akuntansi, jumlah aset idealnya lebih besar daripada liabilitas.
Sementara, kalau yang terjadi justru sebaliknya, bagaimana perusahaan bisa diselamatkan? Dengan jumlah utang yang sedemikian besar dan "napas" bisnis yang sedang terengah-engah, sepertinya hampir tidak ada investor yang mau menyuntikkan modal untuk menutupi kerugian tersebut!
Itulah yang terjadi dalam neraca keuangan Jiwasraya. Kalau situasi demikian, yang dirugikan tak hanya nasabah yang mengalami gagal bayar, tetapi juga pemerintah Indonesia sebagai pemilik perusahaan.
Salah Investasi
Masalah keuangan yang menjerat Jiwasraya ibarat sebuah "gunung es". Biarpun baru terlihat sekarang, masalah ini sebetulnya telah muncul dan berakumulasi sejak bertahun-tahun silam.
Kalau ditelusuri akarnya, masalah tersebut berawal ketika manajemen melakukan investasi tanpa pertimbangan yang matang. Walaupun sudah menyebar dana kelolaan ke sejumlah instrumen investasi, bukan berarti keputusan yang dibuat manajemen bebas dari kesalahan.
Sebut saja investasi yang dilakukan manajemen Jiwasraya di pasar saham. Manajemen diketahui mengalokasikan dana sebesar Rp 5,7 triliun untuk membeli saham.
Pilihan investasi di saham sebetulnya tidak salah, karena saham adalah instrumen yang bisa memberi imbal hasil yang paling besar di antara instrumen lainnya, tetapi masalahnya, manajemen justru memilih "saham-saham gorengan" yang punya "kolesterol tinggi", alih-alih saham bluechip yang memiliki fundamental kuat.