Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Andaikan "Drama" Perang Dagang Berlanjut hingga 2020

27 November 2019   09:01 Diperbarui: 27 November 2019   15:20 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelang akhir Bulan November, IHSG masih terlihat "angin-anginan". Saat tulisan ini dibuat, IHSG berada dalam kisaran 6070-an. Sepertinya IHSG masih "betah" di zona down trend, dan belum ada tanda-tanda akan menguat dalam waktu dekat.

Situasi ini jelas berbeda dengan tahun lalu. Saya ingat, pada awal November 2018, pergerakan IHSG cenderung positif. Saham-saham berkapitalisasi besar mulai naik harganya, dan hal itu akhirnya mengangkat IHSG.

Investor yang membeli saham pada periode itu berpeluang menikmati keuntungan yang lumayan. Saya sendiri ikut merasakan efek peningkatan IHSG. Saham-saham yang saya koleksi pelan-pelan mulai "terbang", seiring dengan laju IHSG.

Setiap investor tentu mengharapkan hal itu kembali terulang pada tahun ini. Namun, sepertinya, harapan itu mesti tertunda, lantaran belum ada sentimen positif yang mampu memicu lonjakan IHSG.

Boleh jadi, perilaku IHSG yang tampak "ogah-ogahan" tersebut disebabkan oleh sikap investor yang cenderung "wait and see". Maklum, investor memang terus memantau kesepakatan Fase Satu antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok untuk mengakhiri perang dagang.

Sampai artikel ini ditulis, belum ada pengumuman tentang tanggal penandatanganan kesepakatan di antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu.

Biarpun Presiden Trump berkata kesepakatan tadi sudah "sangat dekat", dan pejabat Tiongkok telah mengundang pejabat AS untuk melanjutkan negosiasi di Tiongkok, nyatanya, kesepakatan itu masih sebatas wacana.

Mungkin ada beberapa poin yang belum ditemukan solusinya. Tiongkok mungkin saja masih berat memenuhi tuntutan AS tentang perlindungan hak kekayaan intelektual, pembelian produk pertanian, dan penghapusan kebijakan transfer teknologi yang selama ini diberlakukan untuk perusahaan dari AS.

Situasi negosiasi juga bertambah panas setelah Presiden Trump "getol" melancarkan kalimat-kalimat yang terkesan menyudutkan Tiongkok. Belum lagi, DPR AS juga ikut memanas-manasi peperangan dengan mengajukan RUU Pro-demokrasi Hong Kong, yang berpotensi merusak kesepakatan perang dagang yang sudah didiskusikan beberapa bulan sebelumnya.

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping (sumber: nypost.com)
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping (sumber: nypost.com)
Hal itulah yang mungkin menyebabkan belum ada titik temu di antara kedua belah pihak. Kalau kondisi terus berlarut-larut, investor mesti menghadapi "skenario terburuk": perang dagang berlanjut, dan negara-negara di dunia terancam mengalami resesi!

Efek Perang Dagang terhadap Indonesia

Biarpun yang sedang berseteru ialah AS dan Tiongkok, efek yang timbul akibat perseteruan itu ternyata ikut dirasakan oleh Indonesia. Ibarat dua sisi mata uang, perseteruan tadi menciptakan dampak negatif dan positif.

Dampak negatif dari pertempuran tadi bisa dilihat dari pergerakan IHSG. Sejak Amerika Serikat menabuh "genderang perang" dengan Tiongkok pada tahun 2018 silam, laju IHSG terlihat "melempem".

Ada begitu banyak investor yang keluar dari bursa saham tanah air. Hal itu membikin perjalanan IHSG "terseok-seok" selama hampir 2 tahun terakhir.

Tak hanya menggerus kapitalisasi IHSG, hal itu juga berimbas pada pertumbuhan ekonomi secara luas. Kalau investor enggan menanamkan modal, lantas, bagaimana perusahaan-perusahaan di tanah air bisa terus melakukan ekspansi, membuka lebih banyak lapangan kerja, dan menggerakkan roda perekonomian?

Belum lagi kebijakan devaluasi mata uang Yuan yang dilakukan Pemerintah Tiongkok. Biarpun bertujuan mengimbangi kenaikan tarif impor yang diberlakukan pemerintah AS, kebijakan ini malah "mengancam" perekonomian tanah air. Pasalnya, kalau mata uangnya itu terus dibuat lemah demikian, secara otomatis, produk-produk dari negeri tirai bambu itu pun akan jauh lebih murah.

Kalau hal itu terus dibiarkan, nanti para importir akan lebih banyak mendatangkan barang dari Tiongkok, dan hal itu akan membikin neraca perdagangan Indonesia menjadi "jomplang": impor lebih banyak daripada ekspor.

Imbas dari kebijakan tadi pun kini sudah terasa. Belum lama ini tersiar kabar bahwa ada banyak pabrik tekstil lokal yang tutup akibat produk-produk yang dihasilkannya sukar bersaing dari produk luar negeri yang harganya murah-murah.

Perang dagang memang menggoyang perekonomian Indonesia. Namun demikian, bukan berarti efek yang ditimbulkannya selalu negatif. Tetap ada sisi positif yang bisa ditemukan dari perang dagang.

Sebut saja kasus sejumlah perusahaan yang belum lama ini memilih merelokasi pabriknya dari Tiongkok ke luar negeri. Kondisi ekonomi yang sedang labil di Tiongkok sepertinya telah mengancam kelangsungan bisnis mereka, sehingga mereka kemudian terpaksa mencari negara lain untuk melanjutkan usahanya.

Hal ini bisa menjadi "kabar baik" bagi Indonesia. Kalau ada banyak perusahaaan yang memindahkan pabriknya ke tanah air, tentu perekonomian akan bergeliat.

Namun, sayangnya, Indonesia justru belum mampu memaksimalkan "peluang emas" tersebut. Di antara sekian banyak perusahaan tadi, tak ada satu pun yang memilih Indonesia sebagai "arena bisnis"-nya yang baru.

Semrawutnya perizinan disinyalir menjadi alasan yang menyebabkan para pengusaha dari luar negeri enggan berbisnis di Indonesia. Makanya, jangan heran, kalau mereka lebih memilih negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia, untuk merelokasi pabrik dan melanjutkan bisnisnya.

Hal itulah yang sempat membikin Presiden Jokowi kecewa. Ia mempertanyakan, bagaimana mungkin negara-negara lain bisa mendapat berkah atas peristiwa tersebut, tetapi Indonesia tidak?

Atas dasar itulah, Presiden Jokowi kemudian ingin memangkas regulasi yang dianggap menyumbat keran investasi. Pemangkasan itu di antaranya mencakup penghapusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Alasannya? Proses penerbitan IMB umumnya berlangsung sangat lama, dan di lapangan, model bangunan yang dibuat sering tidak sesuai dengan model yang diajukan sebelumnya. Dengan adanya penyederhanaan tersebut, proses perizinan diharapkan bisa lebih sederhana dan lebih cepat.

Saya pribadi memandang bahwa kenaikan IHSG akan terus tertahan kalau belum ada kejelasan soal kesepakatan Fase Satu antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Tentu semua investor berharap kesepakatan itu segera terwujud sebelum tanggal 15 Desember nanti.

Sebab, kalau sampai tanggal tersebut, kata "sepakat" belum juga terucap dari pihak AS dan Tiongkok, presiden trump akan kembali menaikkan tarif impor bagi produk-produk dari Tiongkok, dan hal itu akan melanjutkan drama perang dagang, yang berpotensi mengantar dunia ke jurang resesi!

Salam.

Referensi:

[1] [2] [3] [4] [5]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun