Nama Agung Handoyo tiba-tiba muncul di layar, dan Pak Agung kaget mengetahui hal itu. Wajahnya yang tadinya datar berubah sumringah. Ia pun mendapat ucapan selamat dari Kompasianer lain, lalu naik ke panggung untuk menerima penghargaan.
Cerita yang serupa mungkin juga dialami oleh Kompasianer terpilih lainnya, yakni Mbak Leya, Pringadi, dan Arako. Mungkin ada yang merasa canggung. Mungkin ada yang deg-degan ketika pengumuman dibacakan. Mungkin ada juga yang tetap bersikap santai. Biarpun reaksinya berbeda-beda, setidaknya itu bisa menjadi satu pengalaman unik dalam mengikuti kompasinival.
Circle of Competence
Kesuksesan meninggalkan jejak, kata Anthony Robbins. Dengan mengenali dan meniru jejak-jejak tadi, seseorang berpotensi akan meraih kesuksesan yang sama dengan yang didapat orang lain.
"Rumus" dari Anthony Robbins tadi bisa dipakai untuk apapun, termasuk untuk meraih Kompasiana Award. Jika menggunakan rumusan ini, yang mesti kita lakukan sederhana saja.
Kita cukup menganalisis "rekam jejak" Kompasianer yang terpilih sekarang, lalu dengan tulus mengikuti cara yang sudah mereka lakukan agar kita berpeluang menyabet prestasi yang sama pada tahun depan.
Menganalisis "rekam jejak" tadi memang agak sulit, tetapi bukan berarti mustahil dilakukan. Kita hanya perlu meluang waktu untuk membaca artikel yang pernah dibikin oleh Kompasianer tersebut. Dari situ, baru kita bisa mengetahui kunci keberhasilannya.
Kalau menganalisis pola-pola tulisan yang tampak, kita akan menemukan bahwa Kompasianer terpilih tadi mempunyai "Circle of Competence" alias "Lingkaran Kompetensi" dalam membuat sebuah karya.
Saya meminjam istilah ini dari gaya investasi yang dianut Warren Buffett. Investor kawakan dari "Negeri Uwak Sam" ini memang dikenal hanya akan berinvestasi di perusahaan yang sesuai dengan "Lingkaran Kompetensi"-nya. Di luar itu, ia enggan menyalurkan modalnya.
Hal itulah yang menyebabkan buffett sempat "anti" terhadap perusahaan teknologi tinggi dan internet. Biarpun pada tahun 1990-an, sektor teknologi sedang booming, dan harga saham yang berada di sektor itu naik gila-gilaan, Buffett enggan membeli satu lembar pun saham tersebut.
Alasannya? Karena Buffett tidak begitu paham mekanisme kerja perusahaan teknologi. Ia tidak mengerti bagaimana perusahaan-perusahaan itu bisa terus menghasilkan pendapatan dan keuntungan dalam jangka panjang. Singkatnya, semua itu di luar "Lingkaran Kompetensi"-nya, dan ia tidak ingin mengambil risiko dengan berinvestasi di perusahaan yang tidak diketahuinya dengan baik.