Ingin sebetulnya kusampaikan kalimat tadi kepada Dokter Joni. Namun, kalimat itu hanya nyangkut di tenggorokanku saja, sebab, sudah pasti Berta akan mengamuk kalau aku sampai mengucapkannya.
Berta sepertinya lebih percaya pada diagnosis Dokter Joni, daripada kata-kata suaminya sendiri, yang sudah hidup bersamanya selama bertahun-tahun!
***
Aku bertemu dengan Berta di klinik, dan kami kemudian menemui Dokter Joni bersama-sama. Sebelumnya ia mesti menghadiri acara arisan antarsosialita. Untungnya ia sadar diri, sehingga ia langsung bergegas begitu acaranya selesai. Kalau tidak, mungkin aku akan menunggunya lama di klinik.
Saat berjumpa dengannya, wajah Berta tampak cerah. Sepertinya ia baru menang arisan. Demikian tebakanku. Aku tidak berani bertanya langsung karena khawatir hal itu bisa memicu ledakan granat di hati Berta.
Biarpun begitu, setidaknya dengan "aura positif" tersebut, pertemuan kami menjadi lebih hangat, sehingga langkah kami untuk menjumpai Dokter Joni jadi jauh lebih enteng.
Namun, keceriaan tadi mendadak berubah menjadi "mendung" begitu kami memasuki ruangan praktik Dokter Joni. Sebetulnya ruangan itu cukup sejuk oleh embusan angin ac, yang disetel pada suhu 22 derajat celcius.
Sayangnya, kesejukan tersebut tidak mempan mendinginkan perasaan Berta. Setelah duduk menghadap Dokter Joni, ia langsung tancap gas. Ia berbicara begitu cepat, sampai-sampai aku sulit mencerna kata-katanya. Ada beberapa kata yang menempel di telingaku karena kata itu terus diulang beberapa kali, seperti "kumat", "tembak", dan "mati"!
Setelah Berta selesai memuntahkan unek-unek di kepalanya, alih-alih mengizinkan aku menjelaskan pokok persoalan, Dokter Joni malah menyuruhku duduk di sofa. Agar lebih rileks ia memintaku untuk melepas sepatu dan melonggarkan ikat pinggang. Ia juga bertanya apakah suhunya sudah cukup nyaman, dan aku berkata iya. Aku diminta merebahkan diri, membikin diriku senyaman mungkin, sementara Dokter Joni duduk di dekatku.
Dokter Joni membawa sebuah metronom, dan jarinya yang gemuk menggoyangkan bandul. Bandul itu terus bergerak bolak-balik, menciptakan suara detak yang sangat monoton. Ia kemudian meletakkan metronom itu di meja di dekatku, dan aku diminta mendengarkan suara metronom tersebut.
Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok.