Sekitar dua minggu yang lalu, saya melepas semua saham yang saya koleksi. Bukan karena "nyangkut", melainkan karena khawatir resesi akan menghantam bursa saham.
Pada waktu itu, sejumlah sentimen negatif memang gencar "menyerbu" Bursa Efek Indonesia. Satu di antaranya ialah isu resesi ekonomi yang diprediksi sudah di depan mata.
Hal itu tentu bukan "isapan jempol" semata. Sejumlah media telah mengabarkan bahwa perekonomian di beberapa negara, seperti Inggris, Jerman, Italia, Jepang, Tiongkok, dan Amerika Serikat, cenderung melambat pada pertengahan tahun 2019.
Ibarat sebuah gempa, kabar itu kemudian "menggoyang" bursa saham di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketidakpastian pun "menyelimuti" pasar saham sepanjang Bulan Agustus ini. Ada banyak saham yang "berdarah-darah" ditinggal investornya, dan hal itu kemudian menciptakan "nuansa horor" di pasar saham.
Karena situasi pasar terlihat genting, saya memutuskan menjual saham yang sudah saya simpan sejak Bulan Juli lalu. Walaupun telah untung, saya terpaksa melego saham-saham tadi karena merasa kurang nyaman dengan kondisi pasar. Saya tidak bisa berinvestasi dengan tenang dalam situasi demikian.
Jadi, daripada terus-menerus "dibayangi" rasa waswas, lebih baik saya menunda investasi di pasar saham. Makanya, sekarang saya lebih banyak memantau keadaan bursa, memastikan bahwa semuanya aman, sebelum akhirnya membeli saham lagi.
Meskipun bisa menyelamatkan uang saya, harus diakui, keputusan tadi cenderung "prematur". Sebab, beberapa hari setelah dijual, harga saham tadi kemudian naik lebih tinggi. Sepertinya saya telah menjual saham tersebut terlalu dini. Andaikan menahannya lebih lama, tentu keuntungan yang saya dapat akan jauh lebih besar.
Penyesalan memang kerap datang belakangan. Namun, mau bagaimana? Beli lagi saham yang sudah dijual? Harganya sudah kemahalan. Membeli saham yang valuasinya sudah mahal sama dengan membuka "pintu" bagi kerugian! Jadi, daripada rugi karena beli saham yang sudah mahal harganya, lebih baik saya simpan saja uang di rekening, sambil mencari saham lain yang "salah harga".
Biarpun terlalu cepat melepas saham, bukan berarti saya tidak belajar sesuatu dari pengalaman investasi tersebut. Saya jadi lebih bijak bahwa selama saham yang saya beli masih mempunyai "cerita" yang bagus, saya seharusnya terus mempertahankannya selama mungkin, apapun kondisi yang terjadi di bursa.Â
Selain itu, wawasan saya dalam menganalisis saham jadi semakin bertambah. Selama ini, sewaktu "meneropong" sebuah saham dengan analisis fundamental, saya lebih banyak memerhatikan Neraca dan Laporan Laba-Rugi. Asalkan punya rasio utang yang kecil dan imbal hasil yang besar, tanpa pikir panjang, saya langsung membelinya.
Belakangan, saya sadar bahwa tindakan itu terlalu sembrono. Analisis saham tak cuma melulu soal "utang" dan "untung". Arus kas-nya juga mesti diperhatikan, supaya kita bisa melihat kondisi fundamental perusahaan secara lebih luas.