Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Nyai Ontosoroh, "Business Woman" yang Tangguh

21 Agustus 2019   09:01 Diperbarui: 21 Agustus 2019   10:48 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ine Febriyanti, Pemeran Nyai Ontosoroh (sumber: CNN Indonesia)

Selain kisah percintaan Minke dan Annelies yang mendayu-dayu, kehidupan Nyai Ontosoroh merupakan "poros" lain yang menggerakkan alur dalam Film Bumi Manusia. 

Bersama teman-teman dari KOMIK Kompasiana, saya berkesempatan menyaksikan "sepak-terjang"-nya di Bioskop XXI Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 18 Agustus kemarin.

Sosok ikonik yang diciptakan oleh Pramoedya Ananta Toer ini diperankan dengan apik oleh Ine Febriyanti. Aktris kelahiran Semarang, 18 Februari 1976 ini sejatinya bukan nama baru dalam industri perfilman tanah air. 

Sebelumnya ia telah membintangi beberapa judul film, di antaranya, Nay (2015) dan I Am Hope (2015). Selain berkecimpung di dunia film, ia juga aktif bermain teater. Berkat kepiawaiannya bermain teater, jangan heran kalau ia mampu memerankan sosok Nyai Ontosoroh dengan sangat baik.

Di tangan Ine, Nyai Ontosoroh hadir sebagai wanita yang tangguh. Ketaguhan itu terlihat lewat serangkaian peristiwa sulit yang sempat dialaminya. Seperti sebutir intan yang terbentuk setelah terus-menerus ditempa oleh suhu dan tekanan yang tinggi, berbagai kesulitan itulah yang kemudian membentuknya menjadi wanita yang berkarakter keras dan tegar.

Menjadi Seorang "Nyai"

Lewat narasi yang disampaikan oleh Annelies (Mawar Eva de Jongh), kita menyaksikan kehidupan awal Nyai Ontosoroh. Dari tuturan itulah, kita mengetahui bahwa nama aslinya ternyata bukan Ontosoroh, melainkan Sanikem. 

Nama Ontosoroh baru disempatkan kepadanya setelah ia menjadi istri simpanan Herman Mellema, seorang tuan tanah yang kaya raya.

Sanikem sebetulnya enggan menikah siri dengan Herman Mellema. Namun, ayahnya yang "haus" kekuasaan kemudian "menjual"-nya kepada Herman ketika ia masih berusia 14 tahun. 

Mau tidak mau, suka tidak suka, ia mesti menjalani hidup baru sebagai seorang "Nyai", sebuah status yang dipandang rendah pada masa Pemerintah Kolonial.

Ine Febriyanti, Pemeran Nyai Ontosoroh (sumber: CNN Indonesia)
Ine Febriyanti, Pemeran Nyai Ontosoroh (sumber: CNN Indonesia)
Pernikahan tersebut boleh disebut sebagai "musibah", boleh juga dikatakan sebuah "berkah". Disebut "musibah" karena ia mesti menghadapi perlakuan diskriminatif di masyarakat. 

Saat menghadiri persidangan, misalnya, ia mesti melepas alas kakinya dan memasuki ruang sidang dengan berjalan jongkok. Sebuah tata cara yang mesti dipatuhi oleh orang-orang berkedudukan rendah, yang hadir di pengadilan. Sementara, anaknya, Annelies, yang punya status sosial yang lebih tinggi, boleh memakai sepatu dan duduk di kursi yang lebih terhormat.

Dikatakan "berkah" karena Nyai Ontosoroh kemudian bisa belajar banyak hal. Herman Mellema ternyata tidak pelit berbagi ilmu kepada istri simpanannya. Ia mengajarinya bahasa Belanda dan cara mengelola bisnis. Maka, jangan heran, meskipun tidak pernah bersekolah, Nyai Ontosoroh fasih berbahasa Belanda dan terampil mengatur usaha suaminya. Boleh dibilang ia adalah "manajer" yang andal sebab ia mampu mengurus perkebunan milik suaminya yang berhektar-hektar luasnya dengan baik.

Meski berkecukupan, hidup Ontosoroh sebetulnya masih "dibayangi" oleh status "Nyai" yang diembannya. Maklum, di mata hukum, kedudukannya sebagai istri belum diakui. 

Jadi, biarpun punya kekuasaan untuk mengendalikan perusahaan suaminya, kalau terjadi sesuatu yang buruk, ia bisa kehilangan semua itu dalam sekejap.

Apalagi kekhawatiran tersebut bertambah intens setelah Mauritz Mellema, anak sah suaminya dari pernikahan sebelumnya, datang dari Negeri Belanda untuk menuntut harta kepada ayahnya. Meskipun kedatangannya diabaikan oleh ayahnya, bukannya mustahil ia akan kembali mengambil semua hartanya suatu saat kelak.

Menghadapi Perilaku Putranya

Dari pernikahannya dengan Herman Mellema, Ontosoroh mempunyai dua orang anak, yakni Robert dan Annelies. Meskipun lahir dari rahim yang sama, kakak-beradik itu ternyata tidaklah akur. 

Robert yang mewarisi darah Eropa dari ayahnya kerap memandang rendah kaum pribumi. Sebaliknya, meskipun secara fisik mirip dengan Orang Belanda, Annelies justru ingin menjadi pribumi sepenuhnya.

Perbedaan itulah yang sering menciptakan konflik di dalam keluarga tersebut. Sebagai orangtua, Ontosoroh terlihat kewalahan menghadapi perilaku putranya. 

Satu adegan yang cukup bikin saya "gregetan" ialah ketika Ontosoroh menyuruh Robert ke Surabaya untuk membebaskan Minke dari penjara. Karena ulahnya, Minke mendapat tuduhan palsu dan mesti berurusan dengan pihak berwajib.

Tentu saja Robert enggan menuruti perintah ibunya. Sudah lama ia benci kepada Minke karena Minke adalah pribumi. Makanya, berulang kali ia berkata "tidak" untuk menolak perintah ibunya. Bahkan, ia sampai membangkang dengan meludah di depan ibunya. Tak ayal ia pun mendapat sebuah tamparan dari ibunya!

Menghadapi anak seperti Robert yang sering kurang ajar, gemar mabuk-mabukan, dan senang pergi ke rumah bordil tentu bukan perkara mudah. 

Sesabar-sabarnya seorang ibu, akan tiba satu titik ketika ibu tersebut sudah merasa sedemikian "lelah" dengan sikap anaknya sehingga ia akan cuek terhadap semua hal yang dilakukan anaknya, dan sikap itulah yang diambil oleh Ontosoroh. Sebuah sikap tegas yang mesti dipilih dalam situasi yang sangat kacau. 

Menjalani Hidup Single Parent

Sesungguhnya Ontosoroh telah menjadi seorang "single parent", bahkan ketika suaminya masih hidup. Maklum, semua urusan ditanganinya sendirian. 

Mulai dari membesarkan anak, mengatur rumah tangga, hingga mengelola perusahaan. Jarang sekali suaminya membantu mengurus semua itu.

Alih-alih sibuk bekerja, suaminya lebih senang menghabiskan waktunya di rumah bordil Babah Ah Jong. Setiap hari kegiatannya hanya bersenang-senang, menghisap opium, dan mengosumsi minuman keras. Maka, jangan heran kalau ia kerap pulang dalam kondisi mabuk berat.

Meskipun mempunyai perangai yang buruk, Ontosoroh tetap melayani suaminya dengan layak dan bakti. Seburuk apapun sifatnya, ia tetap tidak bisa berpisah dengan suaminya. 

Baginya, keberadaan suaminya adalah "jaminan" hidup mapan. Walaupun terampil memanejemen rumah tangga dan perusahaan, tanpa suaminya di sisinya, ia bukanlah siapa-siapa.

Hal itulah yang kemudian membuat Ontosoroh bersedia menelan kesulitan demi kesulitan sendirian. Saat suaminya tidak bisa diharapkan, ia adalah satu-satunya tumpuan. Ia belajar menjalani semuanya secara mandiri dan penuh tanggung jawab.

Ontosoroh sejatinya ialah potret kecil dari emansipasi wanita pada Era Kolonial. Ia mewakili sosok wanita yang sanggup hidup mandiri, ulet, dan bertanggung jawab. 

Makanya, sepak terjangnya dalam membina keluarga dan mengelola perusahaan membikin status "Nyai" yang disandangnya tidak berarti apa-apa. Sebab, ketangguhan seorang wanita tidak diukur dari statusnya, tetapi dari kontribusinya untuk masyarakat luas.

Salam.

Menyaksikan Film Bumi Manusia di XXI TIM Bersama Komik Kompasiana (sumber: dokumentasi Komik Kompasiana)
Menyaksikan Film Bumi Manusia di XXI TIM Bersama Komik Kompasiana (sumber: dokumentasi Komik Kompasiana)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun