Menghadapi anak seperti Robert yang sering kurang ajar, gemar mabuk-mabukan, dan senang pergi ke rumah bordil tentu bukan perkara mudah.Â
Sesabar-sabarnya seorang ibu, akan tiba satu titik ketika ibu tersebut sudah merasa sedemikian "lelah" dengan sikap anaknya sehingga ia akan cuek terhadap semua hal yang dilakukan anaknya, dan sikap itulah yang diambil oleh Ontosoroh. Sebuah sikap tegas yang mesti dipilih dalam situasi yang sangat kacau.Â
Menjalani Hidup Single Parent
Sesungguhnya Ontosoroh telah menjadi seorang "single parent", bahkan ketika suaminya masih hidup. Maklum, semua urusan ditanganinya sendirian.Â
Mulai dari membesarkan anak, mengatur rumah tangga, hingga mengelola perusahaan. Jarang sekali suaminya membantu mengurus semua itu.
Alih-alih sibuk bekerja, suaminya lebih senang menghabiskan waktunya di rumah bordil Babah Ah Jong. Setiap hari kegiatannya hanya bersenang-senang, menghisap opium, dan mengosumsi minuman keras. Maka, jangan heran kalau ia kerap pulang dalam kondisi mabuk berat.
Meskipun mempunyai perangai yang buruk, Ontosoroh tetap melayani suaminya dengan layak dan bakti. Seburuk apapun sifatnya, ia tetap tidak bisa berpisah dengan suaminya.Â
Baginya, keberadaan suaminya adalah "jaminan" hidup mapan. Walaupun terampil memanejemen rumah tangga dan perusahaan, tanpa suaminya di sisinya, ia bukanlah siapa-siapa.
Hal itulah yang kemudian membuat Ontosoroh bersedia menelan kesulitan demi kesulitan sendirian. Saat suaminya tidak bisa diharapkan, ia adalah satu-satunya tumpuan. Ia belajar menjalani semuanya secara mandiri dan penuh tanggung jawab.
Ontosoroh sejatinya ialah potret kecil dari emansipasi wanita pada Era Kolonial. Ia mewakili sosok wanita yang sanggup hidup mandiri, ulet, dan bertanggung jawab.Â
Makanya, sepak terjangnya dalam membina keluarga dan mengelola perusahaan membikin status "Nyai" yang disandangnya tidak berarti apa-apa. Sebab, ketangguhan seorang wanita tidak diukur dari statusnya, tetapi dari kontribusinya untuk masyarakat luas.