Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Asa "Menepis" Stigma Rasialis Lewat Film Bumi Manusia

3 Agustus 2019   10:09 Diperbarui: 3 Agustus 2019   10:16 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apalagi film ini juga dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan (Minke) dan Mawar Eva de Jongh (Annelies). Meskipun masih terbilang baru, kemampuan akting keduanya tentu telah terasah dengan baik. Pengalaman dalam membintangi film-film sebelumnya jelas menjadi "modal" yang bagus untuk memerankan tokoh ikonik di dalam film ini.

Isu Rasial

Pemilihan tanggal penayangan film yang berdekatan dengan HUT Republik Indonesia tentu bukan tanpa alasan. Hari Kemerdekaan dinilai menjadi momentum yang tepat untuk penayangan film-film bertema kolosal, seperti Bumi Manusia.

Lewat frame-frame yang ditampilkan, penonton akan diajak "bernostagia" pada masa lalu. Hal itu tentu akan menambah wawasan penonton tentang kondisi Indonesia pada Era Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda. Kehadiran film Bumi Manusia juga akan memantik kembali semangat patriotisme, yang mungkin sempat redup, terutama bagi "generasi kekinian".

Selain itu, isu rasial yang diangkat di film Bumi Manusia juga terasa pas. Maklum, pada masa lampau, ras menjadi tembok yang "tebal", yang bisa memisahkan manusia.

Perbedaan ras kerap dijadikan alasan bagi seseorang atau sebuah kelompok untuk mengobarkan kebencian. Hanya karena berbeda warna kulit, rambut, dan mata, orang-orang bisa menciptakan pertikaian yang tak berkesudahan.

Isu rasial tadi bisa direpresentasikan dalam kehidupan Annelies. Menjadi berbeda di tengah lingkungan yang rasialis tentu tidak mudah baginya. Ia mesti menghadapi berbagai diskriminasi sosial, mulai dari pilihan sekolah, tempat makan, atau bahkan penggunaan fasilitas umum.

Hal itulah yang boleh jadi menyebabkannya kerap "dihantui" rasa kesepian. Meskipun hidup di tengah banyak orang, ia sering merasa sendirian. Sungguh miris melihatnya, tetapi demikianlah kenyataannya.

Makanya, bagi saya, amanat yang dibawa film ini diharapkan bisa menghapus stigma ras yang muncul pada masa lalu. Biarlah kehidupan yang penuh diskrimintif hanya muncul dalam diri Annelies dan hanya sebatas film. Semoga film ini bisa membangun pandangan baru bahwa apapun suku, ras, atau kelas sosialnya, manusia diciptakan sama.

Salam.
Adica Wirawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun