Giant Express yang terletak di dekat rumah saya tiba-tiba jadi "sorotan". Pagi-pagi sudah ada lumayan banyak pelanggan yang datang ke situ. Maklum, supermarket yang terletak di persimbangan Babelan dan Wisma Asri tersebut sedang mengadakan diskon besar-besaran.
Seingat saya, hal itu jarang terjadi. Namun, setelah saya membaca pengumuman yang terpampang di depannya, saya jadi tahu bahwa pusat niaga itu akan segera berhenti beroperasi per Juli 2019. Makanya, semua barang yang dipajang di situ dibanderol dengan diskon hingga 50%.
Meskipun membikin pelanggan senang karena bisa memperoleh barang bagus dengan harga murah, penutupan tersebut sebetulnya sungguh disayangkan.Â
Maklum, sudah bertahun-tahun, supermarket tersebut menjadi langganan orang-orang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Buktinya, setiap tanggal muda, tempat itu selalu ramai dikunjungi sehingga kemacetan panjang pun kerap terjadi. Makanya, saat mendengar kabar bahwa pusat perbelajaan tersebut akan tutup, saya cukup kaget.
Yang memprihatinkan dari kasus tadi adalah nasib para karyawannya. Seperti disebutkan di berita-berita, karyawan yang bekerja di situ sedang gamang, bimbang, dan bingung. Pasalnya, dengan ditutupnya gerai tersebut, mereka terancam kehilangan mata pencaharian. Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK pun terus "membayangi" hidup mereka selama beberapa pekan ke depan.
Saya bisa merasakan bagaimana suasana hati mereka. Biarpun belum pernah bekerja di sektor ritel, saya paham emosi yang muncul manakala sumber pendapatan utama yang dimiliki harus terputus akibat PHK.Â
Sungguh pusing rasanya memikirkan biaya hidup. Belum lagi semua tagihan yang "mengantre" pada masa depan. Tagihan listrik, air, SPP sekolah.... Ah, semuanya memang bisa bikin hati terasa "diaduk" dan "dirajam" kegalauan!
Meskipun bikin kepala cenat-cenut dan dada terasa sesak, harus juga dipahami bahwa itu adalah risiko dari pekerjaan. Dipecat. Kena PHK. Potong gaji akibat bikin kesalahan.
Karier mandek meskipun sudah bekerja puluhan tahun. Barangkali itu hanya beberapa risiko yang mesti ditanggung oleh karyawan. Jadi, biarpun mendapat jaminan berupa kestabilan pendapatan, bukan berarti dengan menjadi karyawan, seseorang bisa sepenuhnya bebas dari risiko.
Saya jadi ingat cerita seorang karyawan toko yang hidupnya tiba-tiba "limbung" setelah toko tempatnya bekerja ludes dilahap si jago merah. Sungguh iba saya mendengar ceritanya.Â
Sebab, di toko tersebut, ia telah bekerja selama 20 tahun lebih. Ia terus bertahan di pekerjaan tersebut selama bertahun-tahun tanpa pernah sedikit pun tertarik "hijrah" ke pekerjaan lain. Hingga, pada suatu hari, toko tadi habis terbakar dan ia terpaksa kehilangan pekerjaan ketika ia sudah beranjak tua.
Kasus demikian memang memerihkan mata. Namun, mau bagaimana lagi? Menyalahkan keadaan? Meratapi nasib? Saya pikir percuma. Sebab, hidup masih terus berlanjut.
Biarpun terasa berat, bukan berarti dalam "situasi darurat" demikian, tidak ada solusi yang akan muncul. Jika menggunakan sudut pandang berbeda, bukan mustahil kita akan menemukan jalan keluar alih-alih terus terfokus pada kesulitan hidup yang akan dihadapi.
Misal, bukankah kita bisa memulai sesuatu yang baru? Menemukan pekerjaan baru? Mempelajari keterampilan baru? Atau, bahkan, merintis usaha baru?Â
Ada paman-paman saya yang semasa muda berhenti bekerja kepada orang lain, kemudian menjalankan usaha hingga menjadi besar, dan kini bisa hidup sejahtera. Kalau disikapi dengan cara demikian, krisis tadi ternyata bisa berubah menjadi peluang yang bagus.
Saya tentu tidak ingin terlalu oportunis dalam situasi demikian. Namun, saya paham, bahwa kalau kita hanya stuck di posisi yang sama, situasi tidak akan banyak berubah. Jadi, meskipun dalam suasana prihatin, saya berharap dan berdoa semoga kehidupan karyawan di sana bertambah baik pada masa depan.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H