Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Menangkal "Efek Domino" Krisis Finansial

25 Juni 2019   09:01 Diperbarui: 25 Juni 2019   09:12 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
efek domino dalam finansial (sumber: https://www.manufacturingglobal.com)

Untuk mencegah terjadinya "tsunami" serupa, Bank Indonesia (BI) berupaya menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dengan menerapkan kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial.

Mikroprudensial adalah kebijakan yang difokuskan mengawasi tingkat "kesehatan" institusi keuangan (bank dan nonbank). Kebijakan ini lebih memerhatikan aspek fundamental dari institusi keuangan yang bersangkutan.

Sementara itu, kebijakan makroprudensial meliputi aspek keuangan yang lebih luas lagi, seperti pasar keuangan, korporasi, rumah tangga, dan infrastruktur keuangan. Kebijakan ini lebih menyoroti iklim ekonomi global. Payung hukum yang menaungi kebijakan ini adalah UU No 21 tahun 2011 tentang OJK khususnya penjelasan Pasal 7, yang menyatakan bahwa BI memiliki wewenang di bidang makroprudensial.

Satu contoh kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan BI adalah Kebijakan Loan-to-Value (LTV). Kebijakan ini bermaksud mengurangi aksi spekulatif yang bisa dilakukan oleh lembaga keuangan dalam memberikan pinjaman kepada nasabahnya. Kebijakan ini mensyarakatkan uang muka yang lebih besar untuk pemilikan aset lebih dari satu.

Misalnya, jika saya sudah mempunyai sebuah rumah, dan kemudian ingin mengambil rumah lain, saya wajib membayar uang muka yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Jadi, kalau uang muka yang mesti disetorkan untuk memiliki rumah sebelumnya sebesar 15%, untuk rumah berikutnya, nilai tadi akan bertambah jadi 20%. Demikian seterusnya untuk rumah-rumah lainnya. Semakin banyak saya membeli rumah, semakin besar pula uang muka yang mesti dibayarkan.

Jumlah uang muka bertambah untuk kepemilikan properti kedua, ketiga, dan seterusnya untuk mencegah risiko keuangan yang sifatnya sistemik (sumber: https://asset.kompas.com/data/photo/2013/06/07/1225052-kpr-rumah-seken-780x390.jpg)
Jumlah uang muka bertambah untuk kepemilikan properti kedua, ketiga, dan seterusnya untuk mencegah risiko keuangan yang sifatnya sistemik (sumber: https://asset.kompas.com/data/photo/2013/06/07/1225052-kpr-rumah-seken-780x390.jpg)
Hal itu tentunya dimaksudkan meminimalkan potensi kredit macet yang mungkin saja terjadi. Lewat kebijakan ini, risiko gagal bayar bisa ditekan tanpa harus membatasi keinginan masyarakat untuk memiliki hunian.  

Contoh lainnya ialah diluncurkannya instrumen Countercyclical Capital Buffer (CCB) pada tahun 2015. Instrumen tadi mewajibkan setiap bank mencadangkan lebih banyak modal ketika ekonomi sedang baik, yang biasanya disertai dengan pertumbuhan kredit yang berlebihan. Tujuannya jelas. Kalau punya modal yang besar, saat tiba-tiba terjadi krisis ekonomi, bank-bank dapat bertahan.

Penerapan instrumen tersebut tentu bukan hal yang mudah. Perbankan jelas memerlukan waktu untuk mengadaptasinya. Makanya, begitu sinyal awal perlambatan ekonomi "berbunyi", bank diberi waktu paling lambat 12 bulan untuk menambah permodalan. Dengan demikian, risiko kebangkrutan, seperti yang dialami Lehman Brothers bisa dikurangi.

Contoh lain penerapan kebijakan makroprudensial adalah audit yang dilakukan BI terhadap penyelenggara dompet elektronik. Audit tersebut bertujuan meminimalkan potensi risiko yang terjadi. Maklum, seiring perkembangan zaman, proses pembayaran tak hanya mengandalkan uang tunai atau kartu kredit, tetapi juga menggunakan dompet elektronik.

Apalagi kini sudah marak pembayaran memakai barcode atau QR Payment. Di sejumlah merchant di kota-kota besar, sudah tersedia layanan demikian, sehingga ketika akan membayar bon, pelanggan cukup memindai barcode yang ditampilkan.

Meski didukung oleh teknologi tinggi, bukan berarti dompet elektronik tersebut bebas dari segala bentuk tindak kejahatan. Potensi adanya fraud, pembobolan akun, hingga pencucian uang bisa saja terjadi. Makanya, BI kemudian memeriksa keamanan sistem penyelenggara dompet elektronik tadi. Jangan sampai terdapat "kebocoran", yang ujung-ujungnya merugikan konsumen, dan berpotensi "menggoyang" stabilitas sistem keuangan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun