Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Jejak Feminisme di Film "Toy Story 4"

22 Juni 2019   09:10 Diperbarui: 22 Juni 2019   09:14 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Toy Story 4 - sumber: pixar

"Bukan maksudku berbagi nasib. Nasib adalah kesunyian masing-masing."

Demikian kalimat yang ditulis Chairil Anwar. Bagi penyair yang disebut sebagai pelopor Angkatan 45 ini, jalan hidup seseorang diibaratkan "kesunyian" yang tidak diketahui ujung pangkalnya. 

Kita tidak pernah bisa menebak dengan pasti bagaimana perjalanan hidup kita kelak. Seperti larik lagu Ari Lasso, hidup ini memang penuh dengan "misteri", dan "misteri" tadi baru akan terungkap seiring berjalannya waktu.

Perkataan Chairil tadi sepertinya tak hanya berlaku untuk manusia, tetapi juga untuk para mainan. Ternyata para mainan pun memiliki "kesunyian"-nya masing-masing.

Setidaknya, hal itulah yang tampak dalam film Toy Story 4. Film besutan Disney ini masih menceritakan petualangan Sherif Woody dan teman-temannya. Dalam film ini, mereka menjalani hidup di bawah asuhan Bonnie, seorang anak TK yang lugu dan periang.

Film ini dimulai dengan adegan kilas balik (flashback) sewaktu Woody dan kawan-kawannya masih diasuh oleh Andy. Di adegan tersebut, Woody harus menerima kenyataan "pahit" karena seorang temannya, yakni Bo Peep, mesti meninggalkannya.

Bo Peep adalah mainan wanita gembala berkulit putih, berwajah imut, dan berpenampilan anggun. Dalam sekuel sebelumnya ia digambarkan sebagai sosok wanita yang kalem, ramah, dan baik hati.

Bo Peep harus menjalani "kesunyian"-nya sendiri setelah Andy menyumbangkannya kepada orang lain. Biarpun terasa berat dan penuh haru, Woody terpaksa merelakan kepergian sahabatnya tersebut. Ia mesti ikhlas menerima kenyataan bahwa tidak selamanya mereka bisa bersama.

Setelah sekian lama berpisah, kedua sahabat tadi akhirnya "ditakdirkan" bertemu kembali dalam sebuah misi. Pada waktu itu, Woody sedang berupaya menyelamatkan Forky. Forky adalah mainan garpu berbentuk aneh yang diciptakan Bonnie. Bonnie menyukai Forky dan menganggapnya sebagai sahabat.

Suatu ketika, dalam perjalanan ke sebuah karnaval, Forky ditawan oleh Gabby Gabby. Gabby adalah boneka anak perempuan berpipi chubby, yang tinggal di sebuah toko barang antik.

sumber: pixar
sumber: pixar

Sudah sejak lama, Gabby ingin memiliki pengasuh. Namun, tidak ada anak yang bersedia merawatnya karena ia adalah mainan rusak. Kotak suara di dalam tubuhnya cacat sehingga hanya menghasilkan suara yang sumbang jika ditarik. Dalam kondisi demikian, ia merasa tidak akan ada anak yang mau berteman dengannya.

Kesempatan Gabby untuk memperbaiki "nasib" muncul setelah ia bertemu dengan Woody. Ia tahu bahwa Woody mempunyai kotak suara yang serupa dengannya. Dengan mengambil suku cadang dari kotak suara Woody, ia bisa membetulkan kotak suara miliknya. Dengan begitu, ia akan menjadi mainan sempurna, yang akan diinginkan semua anak.

Namun, tentu Woody tidak langsung menyerahkan "organ tubuh"-nya tersebut. Setelah Gabby dan pasukannya berupaya merebut kotak suara tadi secara paksa, Woody berhasil kabur.

Woody memang bisa menyelamatkan diri. Namun, tidak demikian dengan Forky. Forky kemudian ditawan Gabby, dan jika ingin Forky kembali, Woody mesti menyerahkan "tebusan", yakni kotak suaranya sendiri.

Woody kemudian berupaya menyelamatkan Forky. Pada saat itulah ia berjumpa dengan kawan lamanya, yakni Bo Peep. Meskipun merasa senang, sejatinya, ia menemukan sesuatu yang "berbeda" dalam diri temannya tersebut.

Bo telah berubah menjadi sesosok wanita yang agresif, mandiri, dan tangguh. Beda sekali dengan Bo yang dulu, yang kalem, anggun, dan santun.

sumber: pixar
sumber: pixar

Kehidupan yang keras sepertinya telah membentuk kepribadian Bo sedemikian rupa. Setelah "dibuang" beberapa tahun lalu, Bo terus belajar bertahan hidup tanpa pengasuh yang merawatnya. Tak terbayangkan bagaimana kesulitan hidup yang dialaminya sewaktu ia berjuang sendirian di tempat-tempat yang asing, dan jauh dari keluarga.

Semua itu pada akhirnya "menempa" diri Bo sehingga ia kemudian menjelma menjadi wanita kuat yang mampu bertahan di tengah krisis kehidupan.

Sewaktu menyaksikan "sepak terjang" Bo di film, saya tiba-tiba teringat pada aliran feminisme modern yang diusung oleh Simone de Beauvoir. Beauvoir adalah filsuf wanita asal Perancis yang terkenal karena menyuarakan kesetaraan perempuan di masyarakat.

Beauvoir mirip seperti RA Kartini. Ia senang menulis dan menyampaikan ceramah tentang isu-isu feminisme. Lewat karya-karyanya, ia kemudian dikenal sebagai tonggak feminisme modern, yang cukup berpengaruh di dunia.

Simone de Beauvoir - sumber: irishtimes.com
Simone de Beauvoir - sumber: irishtimes.com

Sosok Bo sendiri terasa mewakili citra wanita feminis yang dikonsepkan oleh Beauvoir. Sejak bertahun-tahun, Beauvoir berpandangan bahwa wanita semestinya bersikap independen dalam menentukan jalan hidupnya. 

Wanita tidak boleh terkungkung oleh adat istiadat yang membatasi kebebasannya dalam berpikir dan bersikap. Wanita harus berani mengambil sikap dan memiliki kekuasaan atas hidupnya sendiri.

Pandangan Beauvoir tadi sejatinya lahir karena pada zaman itu, hidup wanita sangat dibatasi. Wanita lebih sering menjadi "objek" daripada "subjek". Makanya, jangan heran, pada masa Beauvoir hidup, mereka umumnya cenderung memilih menikah muda, mengurus rumah tangga, dan membesarkan anak karena hanya itulah pilihan hidup yang bisa mereka ambil. 

Jarang ada wanita yang menduduki posisi strategis di perusahaan dan pemerintahan. Semua itu terjadi karena lingkungan mereka mengondisikan demikian.

Namun, lewat aliran feminisme modern yang diusungnya, Beauvoir kemudian menolak konsep tadi. Baginya, wanita tidak boleh lagi jadi "objek", tetapi "subjek". Wanita mesti memperoleh kedudukan yang setara dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan. Sosok wanita seperti itulah yang ideal menurut Beauvoir, dan saya menemukan citra tersebut dalam diri Bo Peep.

Maka, jangan heran, dalam "operasi penyelamatan" Forky, Bo-lah yang memberi komando. Jika di sekuel sebelumnya, Woody yang lebih sering menjadi pemimpin, di film Toy Story 4, ia hanya bertindak sebagai "asisten" Bo.

Di film tersebut Bo mendapat peran yang lebih besar sebagai "pengatur serangan". Ia tidak lagi menjadi "objek" seperti di film sebelumnya, tetapi kini menjelma "subjek" yang menentukan jalan hidupnya sendiri.

Saya kira, isu feminisme inilah yang ingin ditonjolkan Disney di film-filmnya. Disebut demikian karena di film-film lainnya pun, saya "mencium" feminisme yang kental.

Sebut saja Film Aladdin yang saya tonton beberapa waktu lalu. Di film tersebut, sosok Jasmine akhirnya "dibolehkan" menduduki kursi raja menggantikan ayahnya. Dalam tradisi terdahulu, seharusnya ia tidak berhak mengatur pemerintahan karena posisi raja umumnya diisi pria.

Namun, Disney sepertinya berpandangan lain. Disney seolah ingin mematahkan "tradisi" tadi. Bahwa wanita pun memiliki kesempatan yang sama untuk duduk di kursi pemerintahan, dan hal diwakili oleh sosok Jasmine, yang akhirnya menjadi Kepala Negeri Agrabah.

Biarpun berupaya mengangkat harkat dan martabat wanita, bukan berarti hal itu bebas kritik. Sebab, kalau bisa mendapat perlakuan setara, bukankah wanita dikhawatirkan akan lupa pada kodratnya? Bukankah akan terjadi kekacauan apabila di dalam sebuah keluarga, ada dua orang yang berkuasa, karena istri menginginkan kedudukan yang sama dengan suaminya?

Konflik itulah yang mungkin terjadi andaikan semua kepentingan, baik pria maupun wanita, dipukul rata, dan hal itu sempat tercermin juga di salah satu adegan ketika Woody dan Bo sempat bersitegang menentukan siapa yang akan memimpin jalannya "operasi penyelamatan" Forky.

Bagi saya, film Toy Story 4 menawarkan konsep yang baru tentang arti feminisme. Saya justru mengapresiasi upaya Disney dalam mengangkat harkat wanita yang diwakili dalam diri Bo. 

Saya pikir, asalkan porsinya sesuai, tentu tidak akan muncul perseteruan hebat di masyarakat apabila wanita menginginkan kedudukan yang setara dengan pria.

Toh, kini, hal itu juga sudah terjadi, yang mana kaum wanita telah mendapat kesempatan yang sama banyaknya dengan kaum pria dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan. Dengan demikian, posisi wanita tak lagi menjadi "objek", tetapi "subjek" sehingga bisa turut bersumbangsih untuk masyarakat.

Salam.

Adica Wirawan, Founder of Gerairasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun