"Porang." Mungkin kata tadi terdengar asing di telinga kita. Namun, tidak bagi penduduk Desa Kepel, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Sejak tiga tahun terakhir, tanaman sejenis umbi ini menjadi "primadona" di desa tersebut. Ia menjelma "tambang emas", yang sanggup mengubah taraf hidup penduduk sekitar.
Disebut "tambang emas" karena penduduk yang membudidaya porang bisa menuai untung besar. Semua itu bisa terjadi karena porang yang dihasilkan umumnya diekspor ke luar negeri. Makanya, nilai jualnya bisa sangat tinggi.
Paidi, pelopor budidaya porang di Desa Kepel, menceritakan bahwa sebetulnya porang bukanlah tanaman utama yang banyak dibudidayakan penduduk sekitar. Awalnya mereka lebih banyak bertani cengkeh dan durian.
Namun, semua itu kemudian ditinggalkan setelah mereka melihat kesuksesan Paidi dalam bertanam porang. Pasalnya, hanya dari bertani porang, Paidi bisa meraup omset 1 miliar rupiah per bulan, membangun rumah, dan memperbaiki taraf hidupnya.
Dengan semua keuntungan tadi, warga Desa Kepel pun tergiur bertani porang. Beramai-ramai mereka belajar dari Paidi. Dengan murah hati, Paidi pun mengajarkan cara bertanam porang. Berkat upayanya, kini mayoritas penduduk bertanam porang dan taraf hidup mereka pun bertambah baik.
"Latah." Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan peristiwa tadi. Saat melihat seseorang sukses menggeluti suatu bisnis, orang lain pun ikut meniru bisnis orang tersebut.
Ingat "booming" startup beberapa tahun lalu? Ketika startup, seperti Tokopedia, Gojek, dan Traveloka, mulai naik daun, ada begitu banyak anak muda yang berbondong-bondong mendirikan startup. Dengan latah, mereka berupaya meniru startup-startup yang sudah ada seraya berharap keberuntungan juga menghampiri bisnis mereka.
Sikap latah tadi tak hanya terjadi di dunia bisnis, tetapi juga di bidang investasi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa keputusan investasi, termasuk di instrumen saham, sering dipengaruhi oleh tren. Makanya, jangan heran, saat suatu saham sedang ramai ditransaksikan, investor pun latah membeli saham tadi karena harganya diprediksi akan naik cepat.
Biarpun dapat menghasilkan keuntungan yang besar dalam waktu relatif cepat, bukan berarti cara berinvestasi seperti ini bebas dari risiko. Sebab, kalau hanya ikut-ikutan, tanpa memeriksa fundamental suatu saham terlebih dulu, investor berisiko menanggung kerugian besar. Boleh jadi, saham yang dibelinya nyangkut lantaran investor masuk pada waktu yang salah (biasanya ditandai dengan overbought).
Saya jadi ingat cerita kenalan saya yang membeli saham karena mengikuti tren sesaat. Pada waktu itu, ia memborong saham sebuah perusahaan otomotif karena saham tersebut akan membagikan dividen yang lumayan besar. Ia tertarik mendapat untung besar dari dividen yang dibagikan tersebut.