Kenalan saya pun memboyong saham tadi pada harga Rp 1.400-an/lembar. Pada waktu itu, saham tersebut sedang ramai ditransaksikan. Ada begitu banyak investor yang latah membelinya. Mereka ingin memilikinya untuk memperoleh dividen yang besar sehingga harganya naik secara signifikan.
Kenalan saya berencana mempertahankan saham tersebut sampai waktu cum date, dan langsung menjualnya pada keesokan harinya. Ia tahu, sehari setelah cum date (ex date), harga saham biasanya akan runtuh. Ia tentu tidak ingin meratapi kerugian yang dalam hanya karena telat jual.
Makanya, kenalan saya tadi memasang harga jual di bawah harga beli. Meskipun itu akan memangkas capital gain yang bisa didapatnya, ia berharap ada orang yang mau membeli saham tadi dengan harga yang sudah ditentukannya. Ia ingin keluar pasar secepat mungkin sekaligus bawa untung sebesar mungkin.
Namun, kenalan saya lupa bahwa pasar saham itu dunia yang "kejam", "buas", dan "ganas". Seperti kata Lo Kheng Hong, pasar saham tidak akan memberi ampun kepada siapapun yang tidak tahu apa yang dilakukannya.
Dan, benar saja, pada sesi perdagangan esok harinya, saham yang dipegang kenalan saya tadi langsung amblas 25% lebih! Ia tidak sempat menjual 1 lot pun sahamnya karena harganya sudah keburu jatuh.
Pada keesokan harinya pun demikian. Penurunan masih berlanjut. Kalau semua ditotal, hanya dalam beberapa hari, saham tadi telah anjlok sekitar 37% lebih! Saya pikir, dengan potensi capital loss sebesar itu, deviden yang diterima kenalan saya jadi tidak setimpal.
Oleh sebab itu, dalam berinvestasi apapun, sebaiknya hindari sikap latah. Kalau hanya sekadar ikut-ikutan tanpa berpikir terlebih dulu, kegiatan investasi yang dilakukan terlalu berisiko. Investor bisa terjerumus dalam masalah sebab kesalahan sangat mungkin terjadi.Â
Jadi, investor mesti bersikap bijak dalam membuat sebuah keputusan investasi sehingga potensi kerugian dapat diminimalkan.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa