Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Supaya Pertanian di Indonesia "Awet Muda"

12 Mei 2019   11:11 Diperbarui: 15 Mei 2019   10:59 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kehadiran urban farming seperti ini tak hanya mempercantik lingkungan, tetapi juga mampu memasok kebutuhan pangan warga sekitar (sumber: dokumentasi Adica)

Pada tahun 2015, saya sempat terpapar "demam" urban farming. Semua itu bermula sewaktu saya membaca artikel yang memperlihatkan sebuah gerakan bercocok tanam di perkotaan. Hati saya tergugah setelah membaca artikel tadi karena umumnya kegiatan bercocok tanam dilakukan di desa-desa, bukan di kota-kota besar.

Saya pun tertarik mencoba bertani di rumah. Hal awal yang saya coba adalah bertani selada di akuarium. Mungkin ini terdengar "aneh", "nyentrik", dan agak "gila"! 

Namun, hal itu sangat mungkin dilakukan. Asalkan kita tahu caranya, semua media bisa dipakai untuk bercocok tanam, termasuk akuarium sekalipun. Dengan menggunakan metode hidroponik dan memanfaatkan akuarium bekas, saya pun mulai menanam selada. Hasilnya? Selada itu ternyata bisa tumbuh!

menanam selada di akuarium (sumber: dokumentasi Adica)
menanam selada di akuarium (sumber: dokumentasi Adica)

Sesaat saya bisa menikmati rasanya jadi petani. Ketika apa yang kita tanam membuahkan hasil, senangnya luar biasa! Kini saya paham bagaimana perasaan petani di desa-desa sewaktu melihat upaya tani mereka menuai sukses.

Sayangnya, perasaan tersebut hanya bertahan sebentar saja. Cerita tadi rupanya bukan "Dongeng Cinderella", yang selalu berujung bahagia. Sebab, ada waktunya saya juga menanggung kerugian, terutama ketika hama menyerang tanaman yang baru berumur beberapa minggu.

Parahnya, kejadian itu tak hanya terjadi sekali. Pada kesempatan berikutnya, hama kembali menyerang tanaman saya. Usaha yang saya lakukan selama berminggu-minggu kembali jadi sia-sia!

Kesulitan Para Petani

Biarpun menuai banyak kerugian, bukan berarti tidak ada hikmah yang bisa saya petik. Lewat pengalaman tersebut, mata saya jadi terbuka bahwa bertani itu "berat". Ternyata ada banyak kesulitan dalam bertani.

Makanya, saya kemudian jadi salut dengan para petani. Meskipun usahanya sering "dihantui" beragam risiko, mereka tetap berjuang menghadirkan bahan makanan untuk kita.

Kalau diuraikan secara lebih rinci, mungkin ada tiga risiko utama yang sering "menghantui" petani.

Yang pertama adalah risiko gagal panen. Harus diakui, tidak semua kegiatan pertanian punya cerita yang indah pada akhirnya. Seperti yang saya alami, ada waktunya petani waswas menghadapi beragam kemungkinan yang bisa menyebabkan gagal panen.

Hama, cuaca, dan bencana alam bisa menjadi ancaman serius yang mengintai sewaktu-waktu. Secermat apapun upaya pencegahan yang dilakukan, kalau memang sudah waktunya terjadi, ya terjadi. Musibah memang sulit sekali ditolak, dan jika sudah begitu, petani mesti siap memetik banyak kerugian: rugi waktu, rugi tenaga, dan tentunya rugi biaya.

Yang kedua adalah masalah distribusi. Upaya distribusi produk pertanian memang masih terbatas di kalangan petani. Maklum, selama ini, para petani sering "terbelenggu" oleh sistem distribusi yang kurang sehat. Pasalnya, tengkulak kerap "menggencet" harga jual produk pertanian.

Akibatnya, petani tidak mendapat harga yang adil atas kerja kerasnya. Hal itu jelas menambah beban yang dipikul para petani. Sudah bertani itu susahnya bukan main, tapi begitu hasilnya jadi, jerih payahnya tidak dihargai dengan pantas!

Yang ketiga adalah soal permodalan. Seperti bisnis pada umumnya, sektor pertanian juga butuh modal. Bila diibaratkan, modal adalah "napasnya" bisnis pertanian. Tanpa modal yang mumpuni, jangan harap roda traktor akan berputar, pupuk berkualitas akan mudah didapat, dan para petani akan hidup dengan nyaman.

Sayangnya, mendapatkan modal itu tidaklah gampang. Bank belum tentu berani kasih pinjaman kalau tidak ada jaminan. Kalau pemilik sawah tentu bisa "menyekolahkan" sertifikat tanahnya untuk memperoleh modal dari bank. Namun, bagaimana kabarnya dengan para buruh tani, yang hidupnya hanya bergantung pada sistem bagi hasil dengan pemilik sawah? Mereka itulah yang jarang "tersentuh" oleh perbankan.

Masalah Regenerasi Petani

Persoalan-persoalan itulah yang bikin anak muda enggan merintis karier di bidang pertanian. Mereka lebih memilih profesi lain, macam guru atau karyawan kantor. Hal itu kemudian menimbulkan masalah regenerasi petani. Orang yang berprofesi jadi petani semakin langka, dan kalau terus terjadi, hal itu bisa mengancam sektor pertanian tanah air.

Seorang teman saya, Fauzi namanya, juga sempat menyinggung soal itu beberapa waktu lalu. Dalam obrolan santai, ia bercerita tentang kondisi para petani di kampung halamannya, Lamongan, Jawa Timur.

"Para petani di kampung gue umumnya sudah tua," katanya. "Enggak ada yang mau menggantikan mereka karena anak-anak mudanya lebih memilih merantau ke kota daripada bertani. Makanya, jumlah petani di kampung gue berkurang drastis!"

Kemudian, iseng-iseng saya bertanya, apakah ia tertarik jadi petani suatu saat nanti mengingat orangtuanya punya sawah di kampung. Fauzi hanya tertawa. "Sepertinya enggak, bro," katanya. "Gue ingin kerja di sektor lain aja. Bertani itu enggak ada duitnya."

Perkataan tadi semakin mempertegas bahwa Indonesia sedang "darurat petani". Namun, Indonesia tidak sendirian. Masih ada negara lain yang juga mengalami persoalan serupa. Jepang misalnya.

Baru-baru ini Kontan merilis sebuah artikel yang menunjukkan bahwa anak muda di Jepang cenderung berkarier sebagai karyawan kantor daripada petani. Profesi karyawan kantor dianggap lebih "menjanjikan" secara finansial dan mampu mengangkat martabat seseorang.

Jadi, jangan heran, petani di Jepang pada tahun 2019 hanya berjumlah sekitar 2 juta jiwa, berkurang 9 juta jika dibandingkan pada tahun 1965. Jumlah itu pun mayoritas "dihuni" oleh lansia, yang rata-rata telah menginjak kepala enam. 

Untuk mengatasi kesenjangan tenaga di pertanian, Pemerintah Jepang sampai melakukan terobosan: menggunakan drone untuk penaburan benih, pemupukan, penyemprotan pestisida, dan bahkan pengangkutan hasil panen. Penggunaan teknologi tersebut diharapkan dapat menutupi keterbatasan sumber daya manusia di sektor pertanian.

Solusi Masalah Pertanian

Biarpun segan turun ke sawah atau kebun, bukan berarti anak muda tidak bisa memberi solusi atas masalah pertanian yang terjadi. Kini telah muncul sejumlah startup berbasis pertanian yang "dimotori" anak muda.

Sebut saja Igrow. Igrow adalah marketplace yang mempertemukan investor dan para petani. Dengan mengusung konsep peer-to-peer lending, Igrow mencoba mengatasi beragam masalah yang kerap membayangi petani, seperti modal kerja. Sejak September 2014, Igrow telah menggelontorkan dana investasi sebesar Rp 130 miliar kepada para petani.

Tak hanya membantu permodalan, manajemen Igrow juga memberdayakan para petani dengan tambahan ilmu pertanian termuktahir. Menurut Jim Oklahoma, Chief of Business Development Igrow, kebanyakan petani yang dibina belum terkena moderenisasi dan masih menggunakan cara tanam yang konvensional.

Untuk itulah, Igrow kemudian menjalankan program sertifikasi bagi para petaninya. Mereka dibekali pelatihan keterampilan yang mencakup sepuluh kompetensi selama 3-6 bulan. Setelah lulus, barulah mereka mendapat pendanaan.

Apa yang dilakukan oleh Igrow dan perusahaan sejenis lainnya jelas sejalan dengan Revolusi Industri 4.0 yang digagas pemerintah. Dengan menggunakan teknologi, masalah di sektor pertanian bisa diurai dan diatasi. Sedikit-banyak hal tersebut ikut mengangkat taraf hidup para petani.

Berkat kehadiran startup demikian, petani tak hanya mudah mengakses modal, tetapi juga dapat memangkas rantai distribusi. Kalau sebelumnya produk hasil pertanian mesti lewat beberapa tangan untuk sampai ke konsumen akhir, kini semua itu bisa diperpendek karena petani bisa langsung memasarkan produknya langsung ke masyarakat. Dengan demikian, harga jualnya jauh lebih tinggi daripada lewat tengkulak.

Hal lainnya yang bisa dilakukan adalah "menyekolahkan" para petani milenial. Pada Bulan April 2019, Kementerian Pertanian memberangkatkan 44 petani muda dari 13 provinsi untuk mengikuti Program Magang dengan Asosiasi Petani Jepang (JAEC). Kegiatan itu bertujuan menambah wawasan para petani muda tentang konsep pertanian modern, sehingga ketika kembali ke tanah air, mereka bisa menerapkannya langsung di pertanian masing-masing.

Salah satu petani muda yang berangkat adalah Tarmuji. Pemuda 22 tahun asal Tegal ini "terjun" ke dunia pertanian lantaran merasa prihatin terhadap kondisi pertanian di kampung halamannya yang susah beranjak dari "zona merah".

"Saya sering mengamati, kenapa hasil pertanian di Kabupaten Tegal khususnya orangtua saya tidak pernah maju. Banyak kendala di pupuk, hasil produksi sampai hasil panennya pun dijual murah," katanya, seperti dikutip dari Kumparan.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Tarmuji kemudian "banting stir" jadi petani. Pekerjaannya di Jakarta ditinggalkannya, dan kini ia berupaya memperbaiki kualitas pertanian di kampung halamannya dengan berguru ke Negeri Sakura selama 11 bulan.

Kegiatan ini merupakan upaya pemerintah untuk merintis generasi penerus di bidang pertanian. Kelak petani milenial seperti Tarmuji-lah yang akan melanjutkan kiprah para petani sebelumnya.

Solusi berikutnya ialah mempertahankan area pertanian. Hal ini tentu sulit dilakukan, terutama di perkotaan. Di Bekasi, misalnya, sudah jarang saya melihat petak-petak sawah. Kalau pun ada, sawah tadi sudah "dikepung" perumahan, seperti berikut ini.

sepetak sawah yang bertahan di tengah pembangunan (sumber: dokumentasi Adica)
sepetak sawah yang bertahan di tengah pembangunan (sumber: dokumentasi Adica)

Walaupun sekarang masih menghasilkan padi, belum tentu sawah tadi akan terus dipertahankan. Bisa saja, suatu saat, sawah tersebut akan dijual, dirombak, dan disulap jadi perumahan. 

Kalau sampai terjadi, hal itu tentu sangat disayangkan mengingat sawah tersebut berkontribusi memasok bahan pangan kepada masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, sawah-sawah yang tersisa di kota sebaiknya dipertahankan atau ditambah nilainya jadi agrowisata, supaya kehadirannya tidak hilang digerus pembangunan.

Hal lainnya ialah "menggelorakan" urban farming. Urban farming mungkin bisa menjadi solusi untuk membantu swasembada pangan masyarakat setempat.

Di sejumlah daerah, urban farming sudah mulai terlihat. Sebut saja di wilayah Palmerah. Foto-foto yang diambil tahun 2018 ini adalah wujud urban farming di dekat kantor Kompas Gramedia.

beragam jenis sayur ditanam dengan menggunakan metode vertikultur (sumber: dokumentasi Adica)
beragam jenis sayur ditanam dengan menggunakan metode vertikultur (sumber: dokumentasi Adica)

sistem bercocok tanam dengan metode vertikultur menghemat penggunaan lahan dan mengoptimalkan hasil (sumber: dokumentasi Adica)
sistem bercocok tanam dengan metode vertikultur menghemat penggunaan lahan dan mengoptimalkan hasil (sumber: dokumentasi Adica)

kehadiran urban farming seperti ini tak hanya mempercantik lingkungan, tetapi juga mampu memasok kebutuhan pangan warga sekitar (sumber: dokumentasi Adica)
kehadiran urban farming seperti ini tak hanya mempercantik lingkungan, tetapi juga mampu memasok kebutuhan pangan warga sekitar (sumber: dokumentasi Adica)

Di foto-foto tersebut tampak beragam jenis sayur, seperti selada dan pakcoi, ditanam dengan metode vertikultur. Dengan memanfaatkan sedikit ruang di jalan, masyarakat setempat mengubah lingkungannya menjadi lebih hijau. Kehadiran tanaman demikian tak hanya "memanjakan" mata, tetapi juga mampu menyuplai kebutuhan pangan warga.

Kesimpulan

Oleh karena pernah merasakan susahnya jadi petani, setiap akan makan, saya sering merenung. Saya amati makanan yang tersaji di depan saya seolah itu adalah "berkah". Disebut "berkah" sebab untuk hadir di hadapan saya, makanan tersebut mesti menempuh perjalanan yang panjang dan berat.

Makanya, saya bersyukur bisa menyantap makanan tersebut karena makanan itu dihasilkan oleh keringat para petani nun jauh di sana. Berkat kerja keras para petani, kelangsungan hidup saya dapat terjaga. Terima kasih para petani Indonesia. Semoga petani Indonesia bertambah maju hidupnya!

Salam.

Referensi:

kontan.co.id

kontan.co.id

kumparan.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun