Fenomena tadi boleh jadi merupakan imbas dari Santa Claus Rally atau January Effect. Kedua fenomena itu menggambarkan optimisme investor dalam menyambut pergantian tahun. Investor yang "diselimuti" rasa optimis tadi umumnya rajin mengoleksi saham. Hal itulah yang kemudian menyebabkan harga saham membumbung.
Dari pengalaman berinvestasi saham, saya "mengamini" fenomena tadi. Sejumlah saham yang saya amati menunjukkan kinerja yang baik selama periode tersebut. Saham INDF (PT Indofood Sukses Makmur Tbk) bisa menjadi contoh.Â
Sepanjang tahun 2018, kinerja saham INDF kurang begitu memuaskan. Di laporan keuangan kuartal I, II, dan III, perusahaan mencatatkan laba yang lebih rendah daripada periode sebelumnya. Makanya, jangan heran, harganya pun luruh perlahan sejak tanggal 8 Januari hingga 11 November 2018.Â
Namun, tren negatif itu ternyata tidak berlangsung lama. Sebab, sejak tanggal 12 November 2018, INDF menemukan "titik balik". Pada periode itu, ada begitu banyak investor yang mulai mengoleksi sahamnya dan harganya terus "menggelembung".
Contoh lainnya adalah saham PT Matahari Departemet Store, Tbk. (LPPF). Seperti INDF, pada tahun 2018, harga LPPF terus longsor sebagai akibat turunnya laba yang dicetak perusahaan. Saham LPPF yang dihargai 11.000-an pada bulan Januari 2018 meluncur menyentuh angka Rp 4.000-an pada bulan November 2018.
Pada bulan Desember 2018, sempat ada sentimen positif yang "mendongkrak" harga saham LPPF. Sentimen itu ialah libur akhir tahun. Pada masa libur, penjualan Matahari diprediksi akan "menggelembung". Jelang pergantian tahun, diperkirakan akan ada begitu banyak orang yang membeli pakaian di gerai-gerai Matahari.
Atas dasar itulah banyak investor yang kemudian berspekulasi. Mereka berasumsi bahwa kinerja perusahaan akan lebih baik pada akhir tahun lantaran meningkatnya angka penjualan. Setidaknya itu akan menjadi semacam "katalis" untuk memperbaiki kinerja perusahaan sepanjang tahun.
Investor kemudian berbondong-bondong mengoleksi saham LPPF. Harga saham LPPF yang tadinya sempat terpuruk berangsur-angsur melejit hingga menyentuh Rp 7.000-an/ lembar pada bulan Januari 2019.
Fenomena tadi juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rudyanto. Sebagai seorang perencana keuangan, ia tertarik menguji keakuratan best period (November-April) dalam berinvestasi saham. Dengan sampel 17 tahun terakhir (2001-2018), ia mendapati bahwa tingkat akurasi untuk best period ialah 62%. Artinya, kalau kita berinvestasi saham sepanjang periode tadi, hampir dipastikan kita selalu menuai untung.
Lalu, bagaimana dengan imbal hasilnya? Menurut pengamatan Rudy, jika kita menanam modal sebesar 1 juta rupiah hanya pada best period selama 17 tahun, uang tadi bisa bertumbuh menjadi 24 juta atau naik 2.300%! Persentase itu jelas mengungguli imbal hasil yang didapat pada periode lain.