Oleh karena pajak dipangkas, pendapatan yang diterima Pemerintah AS jelas akan berkurang. Untuk menutupi anggaran belanja negara yang terus bertumbuh, Pemerintah AS mesti menerbitkan surat utang alias obligasi.
Nah, masalahnya, ada banyak investor yang masih ragu membeli obligasi dari Pemerintah AS. Mereka enggan memberi pinjaman dalam jangka panjang karena kondisi ekonomi AS sedang timpang.
Apalagi keadaan itu diperparah dengan perang dagang antara AS dan Tiongkok yang sampai sekarang belum menemukan "titik terang" dan sikap Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang secara agresif terus meningkatkan suku bunga acuan.
Atas dasar itulah, investor kemudian menuntut kenaikan imbal hasil untuk obligasi jangka pendek. Hal itu jelas sebuah "anomali". Kalau kita pinjam uang ke bank untuk tenor 1 tahun, misalnya, bunga yang mesti dibayar tentu akan jauh lebih rendah daripada tenor 10 tahun.
Namun, yang terjadi pada obligasi Pemerintah AS justru sebaliknya. Pemerintah AS bersedia membayar bunga lebih tinggi untuk obligasi jangka waktu 1-2 tahun kepada investor supaya investor mau memberi mereka pinjaman untuk menutupi belanja pemerintah.
Hal itu "mengindikasikan" terjadinya resesi ekonomi di Amerika Serikat. Biarpun sampai tulisan ini dibuat, resesi ekonomi tadi masih sebatas "bayang-bayang", bukan berarti hal itu tidak akan terjadi pada masa depan kalau Pemerintah AS terus mempertahankan kebijakan pemangkasan pajak yang disahkan Trump.
Makanya, menurut hemat saya, program pemotongan pajak yang digagas kubu Prabowo-Sandiaga perlu dikaji uang. Jangan sampai hanya untuk meningkatkan elektabilitas, program tadi bisa menjelma "gunting" yang ikut "memangkas" hajat hidup orang banyak, seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa
Referensi:
cnnindonesia.com
Voaindonesia.com
kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H