Persoalan loyalitas tadi tidak hanya terjadi di dunia politik, tetapi di dunia saham. Sudah bukan rahasia, saat ini, investor mudah "berpindah hati". Berbeda dengan investor zaman old, yang sanggup memegang sebuah saham dalam jangka waktu bertahun-tahun, investor zaman now cenderung tidak "kuat iman".
Sebab, kalau melihat saham yang berpotensi akan naik harganya dalam waktu dekat, bisa jadi, investor tersebut bakal buru-buru menjual saham yang dimilikinya, dan langsung membeli saham yang harganya diprediksi akan "terbang" tadi.
Hal itulah yang kemudian memunculkan istilah swing trader. Swing trader adalah sejumlah investor yang berburu saham berdasarkan momentum. Mereka umumnya akan mencari saham-saham yang akan "melejit" harganya dalam waktu singkat. Tujuannya jelas. Mereka ingin meraup keuntungan besar secepat mungkin.
Swing trader gemar mengawasi pergerakan volume suatu saham. Mereka umumnya mencermati faktor supply (penawaran) dan demand (permintaan).Â
Bagi mereka, hal itulah yang akan menentukan pergerakan suatu saham. Sesuai dengan Hukum Ekonomi, jika permintaan atas suatu saham cenderung lebih besar daripada penawaran, harga saham tadi akan naik. Pun sebaliknya.
Dalam "membaca" arah pasar, swing trader sering memperhatikan kesesuaian antara volume dan harga. Ada empat kriteria yang umumnya diperhatikan. Satu, volume besar, harga naik. Hal itu menjadi sebuah tanda bahwa ada begitu banyak investor yang ingin memiliki suatu saham. Jumlahnya bisa ratusan atau bahkan ribuan. Akibatnya, volumenya pun jadi besar dan secara otomatis, harganya pun akan ikut-ikutan naik.
Dua, volume besar, harga turun. Situasi ini adalah kebalikan dari sebelumnya. Biasanya kondisi ini terjadi dalam kondisi down trend. Saya pernah mencermati transaksi saham LPPF (PT Matahari Departement Store Tbk) yang memperlihatkan "kejatuhan" harga besar-besaran pada bulan Maret lalu.
Setelah perusahaan merilis laporan keuangan yang memperlihatkan kerugian yang cukup dalam, ada banyak pemegang saham LPPF yang melakukan aksi jual. Mereka mengobral saham LPPF, sampai-sampai harganya anjlok 22%!
Bahkan, perdagangan saham LPPF sudah berakhir pada sesi 1 karena tidak ada lagi investor yang mau beli sahamnya. Jadi, pada sesi 2, saat saham-saham lain masih aktif diperdagangkan, saham LPPF sepi peminat. Saat "keruntuhan" itu terjadi, volume perdagangannya besar, tetapi harganya turun drastis.
Tiga, volume kecil, harga naik. Situasi ini menunjukkan bahwa harga suatu saham sedang "digoreng". Ada sejumlah investor yang me-mark up harga sebuah saham.Â