Kepo [ke.po] adalah sebuah kata yang menggambarkan rasa ingin tahu yang kuat. Orang yang kepo umumnya merasa penasaran terhadap suatu hal. Rasa kepo bisa "menjangkiti" siapapun, termasuk para milenials. Bagi milenials, selalu saja ada bahan yang enak untuk di-kepo-in. Satu di antaranya ialah investasi di pasar saham syariah. Untuk yang satu ini, bukan rahasia umum lagi kalau milenials mulai "merilik" saham syariah sebagai sebuah sarana investasi.
Hal itulah yang tercermin dalam acara "Saatnya Hijrah ke Saham Syariah", yang diselenggarakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 18 Maret kemarin. Acara tersebut memang tak hanya menarik dari segi materi, tapi juga dari segi peserta.
Awalnya, saya mengira bahwa peserta yang akan datang ialah bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah berusia lanjut. Maklum, bursa saham sering dipersepsikan sebagai "arena bermain"-nya para orangtua.
Hanya orang-orang yang sudah berusia "matang" dan berkantong teballah yang umumnya tertarik pada pasar modal. Namun, setelah saya melihat bahwa ada begitu banyak anak muda yang datang di acara tadi, sepertinya saya mesti merevisi pandangan saya.
Pasar Saham Syariah
Ada beberapa pembicara yang hadir menghapus rasa kepo tersebut, yakni Inarno Djajadi selaku Direktur Utama BEI, Hasan Fawzi selaku Direktur BEI, Frederica W. Dewi selaku Direktur Utama KSEI, Fadilah Kartikasasi selaku Direktur Pasar Modal Syariah OJK, dan Irwan Abdalloh selaku Kepala Divisi Pasar Modal Syariah BEI. Secara bergantian, mereka menjelaskan konsep pasar modal syariah dan perkembangannya dari tahun ke tahun.
Tadinya saya berpikir bahwa hanya ada sedikit sekali saham yang termasuk kategori syariah. Wajar, selama ini, yang paling "akrab" di telinga investor cuma saham-saham nonsyariah, seperti saham perbankan buku IV dan saham perusahaan rokok.
Saham-saham demikian tak hanya ramai diperbincangkan, tetapi juga rutin diperdagangkan di bursa. Ada begitu banyak investor baik yang sudah berpengalaman maupun yang masih pemula, yang ingin mengoleksi sahamnya.
Akibatnya, saham-saham syariah jadi jarang terdengar "gaung"-nya di kalangan investor. Kalau ada pun, porsinya sedikit sekali. Oleh karena itu, kadang saya tidak sadar bahwa sebagian saham yang sedang saya pelajari ialah saham-saham syariah. Saya hanya tahu bahwa saham-saham tersebut punya fundamental yang bagus, yang harganya berpotensi naik pada masa depan. Itu saja.
Namun, setelah saya menyimak pemaparan dari para pembicara, saya jadi "tercerahkan". Bahwasanya ada begitu banyak saham syariah yang beredar di BEI pada saat ini. Jumlah kapitalisasinya bahkan hampir separuh dari total semua saham yang tercatat di BEI, yakni kisaran 52,1% (2019).
Tak hanya dari segi kapitalisasi, jumlah investor saham syariah pun terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Sampai tulisan ini dibuat, ada 47.165 investor yang menanamkan modalnya di saham syariah. Hal itu jelas menandakan bahwa minat masyarakat untuk berinvestasi di saham syariah begitu besar.
Dalam beberapa tahun ke depan, bisa jadi, jumlah itu akan bertambah berkali-kali lipat. Hal itu tentu akan berdampak positif terhadap kinerja saham berbasis syariah. Sebab, kalau ada banyak investor yang bertransaksi di saham syariah, seiring dengan besarnya permintaan, harga sahamnya pun akan ikut-ikutan naik.
Pertumbuhan itu pun didukung oleh regulasi yang kuat dari Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia. Kedua lembaga tersebut sebelumnya telah berdiskusi panjang-lebar dengan Majelis Ulama Indonesia dalam menggodok regulasi untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa transaksi di pasar saham syariah itu aman.
Tak hanya saham-saham diseleksi secara ketat, proses transaksi di pasar saham syariah pun, seperti pemilihan bank untuk RDN dan ketentuan komisi yang diambil dari masing-masing perusahaan sekuritas, sudah diatur sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam prinsip syariah. Makanya, kredibilitas investasi di pasar saham syariah terjaga baik.
Jangkauan Harga Saham
Selain dari sisi regulasi, jangkau harga saham juga berpengaruh terhadap keputusan investor untuk bertransaksi di pasar saham syariah. Dulu saham susah dibeli karena harganya mahal. Maklum, pada masa lalu, satu lot isinya 500 lembar saham, dan kalau masyarakat membeli dalam jumlah yang besar, hal itu dirasa cukup memberatkan, terutama bagi investor ritel.
Namun, sejak tahun 2014, Bursa Efek Indonesia telah mengurangi porsi saham per lot-nya. Kini satu lot isinya seratus lembar saham. Dengan jumlah tersebut, saham jadi lebih terjangkau. Buktinya, dengan modal seratus ribu saja, sekarang masyarakat sudah bisa beli saham.
Bagi para milenial, terutama yang menghadiri acara tersebut, hal itu tentu menjadi kabar bagus. Sebab, dengan modal yang terbatas, mereka punya kesempatan untuk membeli saham, dan dengan mempunyai saham, berarti mereka sudah menjadi pemilik sebuah perusahaan. Keren kan?
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H