Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menabung Saham yang "Tepat" dengan Modal 100 Ribu Rupiah

21 Februari 2019   10:09 Diperbarui: 22 Februari 2019   09:17 5660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampanye Yuk Nabung Saham, yang "diembuskan" Bursa Efek Indonesia (BEI) beberapa tahun lalu, tampaknya mulai memengaruhi banyak orang untuk "melirik" saham sebagai salah satu alternatif investasi. Buktinya, sejak kampanye itu "digaungkan", jumlah investor saham terus bertumbuh dari tahun ke tahun.

Sampai pada tahun 2018, sudah ada 1,6 juta investor saham, yang tercatat memiliki Single Investor Identification (SID). Jumlah itu naik 44% dari tahun sebelumnya, dan besar kemungkinan angkanya pun akan bertambah pada masa depan.

Ada berbagai alasan yang menyebabkan orang-orang tertarik menjajal investasi saham. Di antaranya ialah saham bisa memberikan imbal hasil yang lebih besar dari instrumen investasi lain.

Hal itu memang tidak keliru. Berdasarkan pengalaman saya saat mencoba berbagai instrumen investasi, seperti deposito, emas, obligasi, dan fintech, saya mendapati bahwa saham memang dapat menghasilkan keuntungan yang terbilang besar.

Makanya, jangan heran, ada investor yang menuai untung puluhan hingga ratusan persen dari investasi saham. Jumlah itu jelas mengungguli tingkat keuntungan dari instrumen lain, yang rata-rata "hanya" bisa memberi imbal hasil maksimal 10-15% per tahun.

Hal itulah yang kemudian membikin orang-orang "terpincut" berinvestasi di saham. Seorang siswa saya, misalnya. Beberapa minggu lalu, ia menghubungi saya untuk bertanya tentang dunia saham.

Sudah sejak lama, ia ingin berinvestasi saham. Beberapa waktu lalu, ia sempat mendengar kampanye Yuk Nabung Saham di televisi dan tertarik membuka rekening efek.

Tujuannya? Ia mau belajar "melestarikan" uangnya. Ia tahu, dengan berinvestasi saham, uangnya bisa bertumbuh lebih banyak dan lebih cepat, daripada sekadar disimpan di bank.

Saya cukup kagum dengan siswa saya yang satu ini. Maklum, yang bersangkutan bukanlah mahasiswa jurusan ekonomi. Ia sekarang tercatat sebagai mahasiswa jurusan teknik elektro di sebuah universitas swasta di Jakarta.

Namun, perbedaan latar pendidikan tidak menghalanginya untuk mempelajari salah satu "kecerdasan finansial", yang mungkin saja akan berguna untuk kehidupannya ke depan.

Dengan sabar saya pun menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukannya tentang saham, termasuk modal untuk membeli saham. Wajar. Sebagai mahasiswa, uang di "kantong"-nya memang agak terbatas. Tidak banyak-banyak amat.

Saya bilang, sebetulnya modal tidak jadi masalah. Sebab, dengan uang 100 ribu rupiah, kita sudah bisa beli saham. Ada sejumlah perusahaan yang harga sahamnya masih bisa dijangkau dengan uang 100 ribu rupiah.

Contohnya, saham-saham yang saya koleksi mayoritas berharga Rp 800-900-an/ lembar. Kalau kita membeli 1 lot saham tersebut (1 lot= 100 lembar saham), uang yang diperlukan hanya 80-90 ribu rupiah saja. Harganya masih terjangkau, masih di bawah 100 ribu.

Kemudian, saya juga merekomendasikan saham-saham di sektor consumer goods (barang konsumsi) untuk investasi. Alasannya? Karena saham-saham tersebut punya stabilitas harga yang baik, dan tahan terhadap pergolakan ekonomi.

Dari tahun ke tahun, harga sahamnya juga terus naik, seiring meningkatnya kinerja perusahaan dan konsumsi masyarakat. Makanya, untuk jangka waktu panjang (tahunan), saham-saham demikian layak dikoleksi untuk investasi.

Setelah menemukan saham perusahaan yang bagus, barulah kita mulai menabung saham sedikit demi sedikit. Tidak disarankan kita membeli saham sekaligus. Sebab, harga saham cenderung naik-turun pada awalnya. Lebih baik kita beli secara bertahap.

Itulah yang sering saya lakukan saat menabung saham. Saya ingat membeli saham sebuah perusahaan eletronik dengan cara "mencicil". Awalnya saya beli 2 lot saja di kisaran harga Rp 720/ saham. Sewaktu dibiarkan beberapa minggu, bukannya naik, harganya malah jatuh 2%.

Namun, saya tidak panik, karena kerugian saya sangat kecil, beberapa ribu rupiah saja. Setelah perusahaan merilis laporan keuangan kuartal ketiga, yang menunjukkan pertumbuhan laba sebesar 24%, harga sahamnya pelan-pelan naik 10% menjadi Rp 800-an/ saham. Pada saat itulah, saya beli beberapa lot lagi dan kemudian saya "tidurkan" beberapa minggu.

Tak lama kemudian, harganya kembali "terbang" hingga menyentuh angka Rp 900-an/ saham. Saya tambah sahamnya lagi. Sampai tulisan ini dibuat, saya telah memiliki 25 lot saham tersebut, dari yang sebelumnya hanya 2 lot saja, dan saya masih untung sebesar 8-9%.

Biarpun sudah memberi keuntungan yang lumayan besar, saya enggan menjualnya dalam waktu dekat. Sebab, saya lihat prospeknya masih bagus beberapa bulan ke depan. Makanya, saham tadi saya anggap sebagai sebuah "bank", yang akan terus bertumbuh menghasilkan lebih banyak capital gain untuk saya.

Saya kira, itulah strategi menabung saham yang tepat. Memang tidak semua saham layak dijadikan "bank" tempat kita menabungkan uang. Kita mesti selektif menyeleksi saham. Pilihlah saham yang harganya bertumbuh dari waktu ke waktu.

Kalau kita menemukan saham demikian, kita ibarat menemukan "bank" yang mampu menawarkan "bunga" puluhan persen dalam waktu relatif singkat, dan uang yang kita tanamkan di situ pun bisa bertumbuh melampaui harapan kita.

Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun