Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Belajar Menimbang Harga Saham dari "Tarik-Ulur" Transfer Mesut Oezil

31 Januari 2019   10:09 Diperbarui: 31 Januari 2019   10:12 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saham yang PER-nya 10 kali dikategorikan sebagai saham yang murah. Pasalnya, rata-rata PER saham di Bursa Efek Indonesia adalah 15 kali. Kalau PER-nya di bawah 15 kali, harga saham disebut murah. Sebaliknya, jika di atas 15 kali, harganya tergolong mahal.

Investor nilai, seperti Warren Buffett dan Lo Kheng Hong, senang mengoleksi saham-saham murah. Menurut mereka, saham dihargai terlalu murah karena pasar telah salah menilai harga saham tersebut. Hal itu bisa saja terjadi lantaran ada kabar buruk yang "goyang" pasar sehingga harga saham tadi "terjun bebas".

Sebut saja kasus saham Telkom (TLKM) pada tahun lalu. Pada pertangahan tahun 2018, saham TLKM banyak dilepas oleh investor. Alasannya? Investor khawatir pendapatan Telkom akan ambruk lantaran kebijakan registrasi nomor yang diterapkan oleh Keminfo.

Wajar, sebelum diberlakukannya peraturan tersebut, jual-beli kartu prabayar memang menjadi satu sumber pemasukan bagi perusahaan seluler. Makanya, begitu ada kebijakan yang mewajibkan satu orang hanya dibolehkan memiliki tiga nomor yang terdaftar, penjualan perusahaan bisa menyusut, dan itu tentu berdampak pada menurunnya harga saham.

Jadi, investor kemudian ramai-ramai melepas saham Telkom. Mereka khawatir akan menanggung rugi seiring anjoknya saham Telkom dalam jangka panjang. Pada saat itulah, PER saham Telkom menjadi lebih murah.

pergerakan saham tlkm sepanjang 2018 (sumber: dokumentasi adica)
pergerakan saham tlkm sepanjang 2018 (sumber: dokumentasi adica)
Bagi investor nilai, momen itu adalah sebuah "kesempatan". Kapan lagi kita bisa beli saham Telkom dengan harga yang relatif murah? Jadi, saat orang-orang "mengobral" sahamnya, investor nilai justru sibuk mengoleksinya. Mereka yakin setelah terkoreksi, akan tiba suatu masa ketika harganya naik kembali.

Namun, apakah semua saham yang PER-nya di bawah 15 kali layak dibeli? Ternyata tidak juga. Walaupun harganya terbilang murah, tetapi kalau kualitas perusahaan buruk, sebaiknya investor menjauhi saham demikian. Bisa rugi.

Kalau suatu saham dihargai sedemikian murah, itu bisa juga berarti perusahaan di baliknya sedang bermasalah, seperti terjadi penurunan keuntungan, sulit bayar utang, terlibat sengketa, dan dinyatakan bangkrut. Semua perusahaan yang mengalaminya harga sahamnya bisa sangat murah.

Makanya, PER bukan satu-satunya "barometer" dalam memilih saham. Kita mesti melihat aspek lain sebagai bahan pertimbangan, seperti pertumbuhan laba. Belilah saham yang labanya terus bertumbuh dari waktu ke waktu.

Memang saham yang labanya terus berkembang "umumnya" dihargai mahal oleh pasar. Namun, kalau kita mempunyai saham yang labanya terus bertambah demikian, kita boleh mengharapkan capital gain darinya.

Sebut saja saham Bank Central Asia (BBCA). Harus diakui, kinerja saham BBCA cukup ciamik. Sepanjang tahun 2018, sahamnya bertumbuh 30%. Ada begitu banyak orang yang tertarik membelinya. Agak aneh memang. Sebab, kalau merujuk pada rasio harganya, saham BBCA terbilang mahal (PER-nya 27 kali). Namun, tetap saja, hal itu tidak menyurutkan niat investor untuk memborongnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun