Sejak ditangani oleh Jurgen Klopp beberapa tahun silam, penampilan Liverpool jauh lebih "menggigit". Betapa tidak, berkat sentuhan Klopp, klub yang berjuluk The Reds itu berhasil menembus babak final Piala UEFA (2015/2016) dan Piala Champions (2017/2018).
Tak hanya sampai di situ, posisi Liverpool pun terus membaik di Liga Inggris. Sempat finis di posisi 8 (2015/2016), lalu naik di posisi 4 (2016/2017, 2017/2018), hingga akhirnya kini Liverpool duduk nyaman di posisi 1 pada paruh musim 2018/2019.
Dalam mengelola skuat Liverpool, Klopp tak hanya piawai meracik strategi, tetapi juga terampil memotivasi "anak asuh"-nya. Makanya, para pemain, seperti Mohamed Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane, mampu tampil all out dalam setiap laga yang dijalankan Liverpool. Semua pemain dari setiap lini pun tampak kompak, tangguh dalam menyerang atau menahan serangan.
Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan seorang manajer ternyata berpengaruh besar pada penampilan para pemain di lapangan hijau.Â
Manajer yang punya kapasitas dalam menyusun komposisi pemain, mengatur strategi, dan membangun kepercayaan bisa membangkitkan "raksasa yang tertidur" di dalam sebuah tim, sehingga tim itu bisa tampil "trengginas" dalam setiap laga yang dilakoninya.
Kehadiran manajemen seperti itu merupakan wujud dari Tata Kelola Perusahaan yang Baik alias Good Corporate Governance (GCG). Dalam menjalankan "roda usaha", peran GCG sangatlah penting. Tanpa tata kelola yang bagus, jangan harap perusahaan bisa berjalan mulus.
Ada banyak contoh yang menunjukkan bahwa sebuah perusahaan bisa terjerat masalah atau bahkan "bubar" kalau ia dikelola oleh "tangan-tangan yang kurang terampil" alias non-GCG.Â
Sebut saja kasus PT Tiga Pilar Sejahtera Food (kode emiten AISA) yang sempat heboh beberapa bulan belakangan. Kasus itu bergulir setelah terjadi "perang" antara para direktur dan dewan komisaris.
Perselisihan yang penuh "drama" itu akhirnya menjadi kontraproduktif bagi perusahaan. Kegiatan operasional perusahaan sempat terganggu dan perdagangan sahamnya pun dihentikan oleh Bursa Efek Indonesia.
Kalau sudah terjadi demikian, investor hanya bisa "gigit jari". Sebab, dana yang sudah ditanamkan di perusahaan itu bisa "menguap" tanpa bekas. Makanya, faktor GCG harus masuk dalam daftar pertimbangan investor dalam memilih saham. Jangan sampai investor rugi akibat mengabaikan tata kelola perusahaan.
Biarpun termasuk krusial, sayangnya, faktor itulah yang justru paling sulit diamati. Kecuali bekerja di dalamnya, kita tentu sulit mengamati bagaimana manajemen "mengomandoi" perusahaan.