Beberapa hari yang lalu, saya "terpaksa" menjual saham AKRA. Sebab, harganya terus turun sejak saya beli sekitar sebulan yang lalu. Pada saat beli, saya mengira bahwa pasar sudah "bosan" menjual saham tersebut. Maklum, sepanjang tahun ini, harganya memang terus "longsor" dan ada begitu banyak investor yang menjualnya alih-alih membelinya.
Sampai tulisan ini dibuat, saham AKRA pun "terperosok" cukup dalam. Dari harga Rp 6.200 per lembar saham pada tanggal 2 Januari 2018 sampai dengan harga Rp 3.400 per lembar saham pada tanggal 13 November 2018. Artinya hampir separuh harga sahamnya "tergerus", dan sampai sekarang, belum ada "tanda-tanda alam" kalau saham tersebut akan menguat dalam waktu dekat.
Hal itu tentu sungguh disayangkan. Pasalnya, AKRA termasuk saham yang punya fundamental kuat. Perusahaan yang menaunginya, yakni AKR Corporindo Tbk, terbilang perusahaan besar. Ia bergerak dalam jasa penyaluran logistik, pengoperasionalan pelabuhan, dan pendistribusian minyak dan bahan kimia dasar. Sejak bertahun-tahun, ia pun tergolong ke dalam anggota indeks LQ45.
Sekadar informasi, LQ45 adalah indeks saham yang terdiri atas 45 saham unggulan. Umumnya, indeks itu dihuni oleh saham-saham berkapitalisasi pasar di atas 10 triliun rupiah. Oleh sebab itu, selain IHSG, indeks ini sering dijadikan "barometer" untuk memetakan kondisi pasar di Bursa Efek Indonesia.
Kembali ke saham AKRA. Walaupun termasuk salah satu saham yang tangguh, oleh karena faktor eksternal, seperti menguatnya dollar terhadap rupiah dan menurunnya harga minyak dunia, kinerja saham AKRA pun terganggu. Akibatnya ya itu tadi, harganya terus "melorot", dan tak ada satu pun yang bisa memperkirakan seberapa dalam ia akan jatuh.
Makanya, saya pun memutuskan cut loss kemarin. Saya menjual sahamnya dalam keadaan rugi, lantaran saya tidak menemukan tanda-tanda yang kuat bahwa harganya akan berbalik naik.
Hal itu mungkin bertolak belakang dengan anjuran para fundamentalis. Bagi mereka, saat saham bagus sedang turun, itu adalah kesempatan yang bagus untuk membeli. Sebab, kapan lagi kita punya celah untuk membeli saham bagus dengan harga "diskonan" begitu? Makanya, mereka kemudian menganjurkan bahwa saat pasar panik, dan banyak investor menjual sahamnya besar-besaran, itulah waktu yang pas untuk masuk ke pasar!
Meski dasar pemikiran mereka masuk akal, saya tetap tidak berani masuk ke pasar yang sedang "dihantam" badai kepanikan. Bagi saya, itu terlalu bahaya, bukan langkah yang bijak. Makanya, kalau tren suatu saham cenderung turun, saya hanya akan menyimpan modal saya, dan menunggu sampai tren harganya berbalik naik suatu saat nanti.
Saat berbicara tentang tren harga suatu saham, saya jadi terpikir soal nge-blog. Ternyata ada kemiripan antara membeli saham dan membuat blog. Sebab, keduanya mesti memerhatikan tren untuk berkembang. Sama seperti saham, blog yang laris dibaca banyak orang umumnya adalah blog yang selaras dengan tren.
Sebut saja blog yang dibuat oleh Kompasiner Yonathan Christanto kemarin, yaitu Selamat Jalan Stan Lee. Tulisan yang mengangkat topik tentang kematian Stan Lee itu memang kaya informasi, renyah dibaca, dan kemudian jadi viral dalam waktu singkat.
Sebabnya? Topik yang dibahas Yonathan dalam tulisannya itu memang sedang tren. Apalagi sosok Stan Lee yang ditulisnya adalah tokoh terkenal. Ia adalah "ayahanda" dari beberapa Superhero Marvel, seperti Ironman, Spiderman, dan Hulk.
Makanya, jangan heran kalau tulisan Yonathan kemudian menuai beragam komentar dari kompasianer lain. Sampai tulisan ini dibuat, artikel itu telah dibaca 535 kali, dikomentari sebanyak 12 kali, dan di-vote sebanyak 25 kali!
"Taktik" nge-blog sesuai tren yang diterapkan Yonathan sebetulnya bisa dilakukan oleh siapapun. Saya sendiri sering menerapkannya dulu. Biasanya taktik ini saya pakai manakala saya ingin bikin tulisan, tetapi bingung mau tulis topik tentang apa.
Akhirnya, daripada larut dalam kebingungan, saya pun mencari informasi di google trend, atau twitter. Pasalnya, di situ, tersedia topik-topik yang sedang hangat dibicarakan oleh warganet. Dari sekian banyak topik, kita tinggal pilih salah satu yang "nyangkut" di hati kita untuk dikembangkan menjadi tulisan.
Lewat taktik tersebut, saya ingat pernah menghasilkan tulisan yang laris diserbu pembaca. Satu artikel yang terlintas di pikiran saya ialah blog tentang kematian dokter Ryan Thamrin pada bulan Agustus 2017 silam.
Kasus kematian dokter Ryan memang sempat menjadi "buah bibir" pada saat itu. Pasalnya, cukup banyak yang terkejut mendengar kematian dokter muda yang pernah mengisi acara Dokter Oz Indonesia tersebut.
Walaupun sudah santer dibicara sejak pagi hari, belum banyak orang yang mengangat kisah dokter Ryan di Kompasiana. Saya pun akhirnya tertarik menulis kisahnya. Alasannya? Saya jadi terkenang nasihat-nasihat kesehatan yang pernah disampaikan dokter Ryan.
Maklum, dulu saya memang sering menonton acara Dokter Oz Indonesia yang dipandu oleh beliau. Dari acara itu, saya jadi tahu banyak tentang tips-tips kesehatan yang bermanfaat dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berkat nasihat dari beliau, saya belajar menata pola hidup sehat, yang terasa betul pengaruhnya bagi diri saya.
Makanya, saya pun mengangkat topik tentang kehidupan dokter Ryan ke dalam blog, sekaligus mengenang "warisan"-nya itu kepada saya. Mungkin itu adalah satu cara saya untuk berterima kasih atas nasihat-nasihatnya.
Tak lama setelah di-posting, artikel yang diberi judul Tiga "Warisan" untuk Saya dari dr. Ryan Thamrin itu pun dipilih oleh admin Kompasiana menjadi Artikel Utama. Segera saja, jumlah pembacanya meningkat, dan artikel itu diliput banyak pasang mata.
Dari uraian di atas, sebetulnya kita bisa menarik satu simpulan. Bahwa alangkah bijaksananya kalau kita memerhatikan tren. Baik saat memilih saham maupun menulis blog, kita perlu jeli melihat tren yang berlangsung. Pasalnya, tren bisa memengaruhi peningkatan harga suatu saham dan perkembangan suatu artikel. Oleh sebab itu, semakin positif sebuah tren, semakin baik pertumbuhan yang bisa dihasilkan.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H