Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

"Brand Kuat" Menjamin Harga Saham Melesat?

5 November 2018   10:09 Diperbarui: 5 November 2018   12:16 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia belum bisa "digoyahkan", "dilengserkan", atau bahkan "digusur" oleh para pesaingnya selama produk-produknya masih menguasai pasar. Jadi, boleh dibilang kedudukan Indofood sebagai produsen mie instan terbesar masih kokoh pada masa depan.

Dari situlah kita bisa berasumsi bahwa produk yang punya brand yang kuat menjadi "jaminan" kesuksesan bagi kinerja saham perusahaan yang membuatnya. Namun, pertanyaannya, apakah selalu demikian? Ternyata tidak.

Pasalnya, sewaktu saya memeriksa perusahaan publik lain, saya mendapati bahwa alih-alih terus bertumbuh, kinerja saham perusahaan tersebut justru turun, ambruk, atau bahkan jeblok, biarpun mereka punya produk yang dikenal baik oleh masyarakat luas.

Bagi saya, hal itu menjadi semacam "anomali". Bagaimana sebuah perusahaan yang punya merek terkenal harga sahamnya justru bikin "ketar-ketir" begitu? Bukankah seharusnya semakin baik sebuah produk, semakin "berkilau" mereknya, semakin "tokcer" harga sahamnya?

Untuk menjawabnya, mari ambil contoh saham produsen sepatu BATA. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh topbrand-award.com, hampir setiap tahun, sepatu Bata terpilih sebagai merek yang dikenal baik oleh masyarakat.

Merek Bata tampaknya melekat kuat di pikiran orang-orang sebagai sepatu khusus kantor yang oke kualitasnya. Hal itu pun diamini oleh mayoritas responden manakala ditanya soal sepatu untuk kerja kantoran. Makanya, jangan heran kalau posisi topbrand untuk kategori sepatu kantor pria masih diduduki oleh Bata selama bertahun-tahun.

Namun, apakah itu mendongkrak kinerja sahamnya di bursa? Ternyata tidak. Sewaktu saya menulis artikel ini, nilai sahamnya tercatat terus turun dari tahun 2014-2018, dan kini berada di kisaran harga 590/lembar.

Setelah saya telusuri, barulah saya tahu kalau penyebab harga sahamnya "melorot" ternyata bukan karena kualitas brand-nya, melainkan kondisi keuangan perusahaannya. 

Dari statistik performa perusahaan yang bisa diakses di laman Bursa Efek Indonesia, kita bisa tahu bahwa labanya labil dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, nilai sahamnya pun terus tergerus dari 1.060 (8 November 2013) ke 600 (26 Oktober 2018).

Itu baru satu contoh. Masih ada beberapa contoh saham lain, yang menunjukkan "anomali" tersebut, seperti GIAA (Maskapai Garuda Indonesia), RICY (produsen pakaian dalam GT Man), dan CINT (perusahaan mebel Chitose). Semua saham itu jelas punya merek yang oke, tetapi harga sahamnya di bursa justru "melempem".

Dari situlah sebetulnya kita bisa memetik pelajaran bahwa merek yang terkenal ternyata bukan satu-satunya faktor yang menunjang kinerja sebuah saham. Ada faktor-faktor lain yang sekiranya juga perlu diperhatikan, seperti "kesehatan" keuangan perusahaan dan sektor usahanya. Kalau semua faktor itu lengkap, barulah sebuah perusahaan disebut memiliki ketangguhan kompetitif yang berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun