Sewaktu terjadi krisis, seperti musibah yang menimpa Sulawesi Tengah pada akhir September kemarin, energi adalah satu hal yang masuk dalam "daftar prioritas" penanganan bencana. Tanpa pasokan energi yang memadai, kendaraan-kendaraan yang mengangkut bahan makanan, peralatan medis, dan tenda darurat tentu akan sulit beroperasi.
Kalau hal itu sampai terjadi, imbasnya akan berpengaruh penanganan korban bencana. Bisa dibayangkan betapa parahnya kondisi korban kalau logistik terlambat disalurkan akibat terkendala pasokan energi. Mereka bisa terserang penyakit, menderita kelaparan, atau bahkan meninggal dunia karena bantuan terhambat.
Makanya, saat gempa bumi berkekuatan 7,7 skala richter memorak-porandakan Sulawesi Tengah, Pertamina bergerak cepat dengan mengaktifkan crisis center pada tanggal 29 September atau sehari setelah bencana.
Lewat upaya itu, Pertamina berupaya memetakan dampak bencana terhadap Terminal BBM Donggala, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Elpiji (SPBBE), Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU), serta sejumlah lembaga penyalur bbm dan elpiji.
Setelah memantau kondisi tempat yang terdampak bencana, barulah Pertamina memberangkatkan dua tim. Kedua tim itu melewati jalur berbeda untuk mencapai lokasi.
Tim 1 dari Makassar, Sulawesi Selatan, berangkat dengan kapal perang TNI AL dari pelabuhan Lantamal. Tim yang terdiri dari 7 orang tersebut meliputi pekerja, tenaga medis, welder dan helper. Sementara, tim 2 yang terdiri atas delapan orang pergi lewat jalur darat.
Perjalanan tim, yang membawa logistik untuk para korban bencana, bukannya tanpa halangan. Sebagaimana diceritakan oleh Arya Dwi Paramita, selaku External Communication Manager Pertamina, kapal yang mengangkut tim sempat sulit berlabuh.
![Arya Dwi Paramita, selaku External Communication Manager Pertamina, menceritakan di depan Kompasianer betapa memprihatinkannya kondisi wilayah terdampak gempa di Sulawesi Tengah (dokumentasi Adica)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/19/img-20181019-154724-782-1-5bc99f52c112fe63ab165ff2.jpg?t=o&v=770)
Perjalanan tim lewat rute darat pun "sebelas-dua belas" kondisinya. Kendaraan pengangkut logistik yang mereka tumpangi mesti melewati jalan yang sudah rusak akibat gempa. Bisa dibayangkan betapa sulitnya ketika tim harus melalui jalan beraspal yang sudah retak-retak atau tertimbun longsoran tanah. Risiko jalanan amblas "membayangi" tim sepanjang perjalanan.
Kendala lain yang menghadang tim ialah komunikasi. Sewaktu terjun langsung ke lapangan, Arya mengaku sulit berkomunikasi. "Di sana, tidak ada sinyal," katanya. Hal itu tentu wajar terjadi. Sebab, sebagian menara telekomunikasi sempat rubuh, dan hal itu mengakibatkan sinyal terputus untuk sementara waktu.
Dengan minimnya sinyal, Arya bercerita sempat kesulitan berkoordinasi dengan tim. Namun, untungnya, tim yang berangkat sangat solid. Jadi, biarpun susah berkomunikasi, tim tetap bisa menangani situasi darurat yang terjadi.
Penyaluran Energi Lewat Darat, Laut, dan Udara
Setelah tim awal dari Pertamina tiba di lokasi, barulah Pertamina mengirimkan lebih banyak pasokan energi secara bertahap. Pasokan energi tersebut disalurkan lewat jalur darat, laut, dan udara.
Untuk jalur darat, pada tanggal 30 September, TBBM Donggala mengutus 6 mobil tangki yang memuat 16 kiloliter bahan bakar. Dengan dikawal polisi, mobil tangki tersebut memasok bbm ke 4 SPBU di wilayah Palu.
Namun, distribusi bbm sempat mengalami masalah. Pasalnya, sejumlah mesin SPBU tidak bisa beroperasi karena rusak. Untuk mengatasi persoalan itu, Pertamina kemudian mengirimkan SPBU Portable dan dispanser engkol. Kehadiran alat yang dioperasikan secara manual itu mampu memperlancar pasokan bbm ke masyarakat sementara waktu.
Dalam situasi darurat, Pertamina pun memberlakukan operasional SPBU sehari penuh. Menurut Arya, SPBU-SPBU setempat yang sebelumnya biasa tutup pada pukul sembilan malam akhirnya tetap buka selama 24 jam. Semua itu dilakukan untuk mengantisipasi kalau-kalau ada kendaraan pengangkut logistik yang tiba-tiba butuh bahan bakar di perjalanan.
Selain itu, pada tanggal 6 Oktober, Pertamina juga mulai menjual bbm kemasan 5 liter untuk motor dan 10 liter untuk mobil. Hal itu tentunya bertujuan mencegah kelangkaan bbm selagi SPBU sedang dalam tahap perbaikan.
Tak hanya bensin, Pertamina juga menyalurkan avtur. Satu mobil tangki avtur dikirim dari TBBM Plumpang untuk menjamin ketersediaan bahan bakar pesawat di Bandara Mutiara Sis Al Jufrie, Sulawesi Tengah. Dengan demikian, pesawat-pesawat yang membawa logistik untuk korban gempa bisa terpenuhi kebutuhan bahan bakarnya.
Solar pun turut disalurkan. Pada tanggal 1 Oktober 2018, sebanyak 4.000 liter solar diangkut dengan menggunakan Pesawat Air Tractor dari Bandara Juwata Tarakan, Kalimantan Utara. Pengiriman solar itu bertujuan menyokong bantuan operasional pemulihan di Palu dan Donggala.
Seperti dikutip di laman Pertamina.com, Unit Manager Communication & CSR Marketing Operation Region VII, Roby Hervindo menjelaskan bahwa Pertamina terus berupaya memenuhi pasokan solar untuk berbagai keperluan.
"Kami berkoordinasi untuk mendatangkan mobil tangki industri. Saat ini (1 Oktober 2018) sudah disalurkan 1500 liter untuk RS Undata Palu, 2000 liter untuk Kantor PLN Area Palu dan 5000 liter disalurkan ke Posko Basarnas Palu," kata Roby Hervindo.
Sementara itu, untuk keperluan rumah tangga, Pertamina menggelar operasi pasar LPG. Sampai dengan tanggal 10 Oktober, sebanyak 100 ribu tabung LPG telah disalurkan ke rumah-rumah maupun tenda-tenda darurat.
Sistem Regular, Alternatif, Emergency (RAE) dari PertaminaÂ
Kalau dihitung dari tanggal terjadinya gempa sampai pemulihan, upaya penanganan yang dilakukan oleh Pertamina terbilang cepat. Hanya dalam hitungan hari, Pertamina telah masuk menyalurkan bantuan ke wilayah terdampak gempa, seperti Palu dan Donggala, yang notabenenya mengalami kerusakan yang parah.
Langkah sigap tersebut tentu bisa dilakukan berkat Sistem Regular, Alternatif, Emergency (RAE) yang diterapkan oleh Pertamina. RAE adalah sistem mitigasi yang aktif manakala bencana menimpah suatu wilayah. Ia berupa prosedur yang dilakukan secara bertahap untuk menangani suatu bencana. Ia menjadi pedoman bagi semua awak Pertamina dalam mengatasi persoalan yang terjadi di lapangan.
Arya menuturkan berkat RAE, tim dari Pertamina bisa berkoordinasi dengan baik di lokasi gempa. Apalagi, tim yang berangkat juga memiliki spesialisasi khusus, yang dibutuhkan untuk penanganan awal pascagempa, seperti pekerja dan tenaga medis. Makanya, jangan heran kalau tim sudah mengetahui tugasnya masing-masing, sehingga penanganan terhadap korban bisa langsung dilakukan.
Faktor lain yang menyebabkan tim dari Pertamina dapat berkerja efektif ialah solidaritas. Arya menceritakan bahwa awak Pertamina, yang terdiri atas sukarelawan operator SPBU & SPPBE, punya semangat kemanusiaan yang tinggi.
Pasalnya, saat terjadi bencana, alih-alih lari menyelamatkan diri, mereka bersedia membantu orang lain yang memerlukan pertolongan. "Semuanya all out membantu penanganan bencana," tegas Arya.
Mereka juga bersedia bekerja selama 24 jam, terus membuka SPBU sepanjang hari, hanya untuk memastikan bahwa tak ada kendaraan pengangkut logistik yang mogok lantaran kehabisan bahan bakar di tengah perjalanan.
Sukarelawan di posko juga bekerja "ekstra keras" dan "ekstra cerdas". Sebut saja tim dokter Thomas Meidiansyah Tri Baskoro. Mereka tak hanya menangani cedera fisik yang dialami oleh para pasien, tetapi juga memberi hiburan kepada anak-anak.
Mereka menggunakan peralatan apapun yang tersedia di posko, seperti sarung tangan bedah dan kertas, untuk dijadikan mainan bagi anak-anak. Semua itu dilakukan sebagai bagian dari trauma healing kepada anak-anak.
"Menolong korban bencana memang banyak caranya. Inilah yang bisa saya lakukan untuk mereka. Menolong dengan keahlian yang saya punya. Saya rasa, kita akan berperan lebih jika berada langsung di tengah-tengah mereka," ujarnya usai memberikan trauma healing di Posko 2 Pertamina di depan Bandara Mutiara SIS Al Jufri, Palu, sebagaimana dikutip dari situs Pertamina.com.
Berkat upaya keras yang dilakukan Pertamina, pasokan energi di wilayah Sulawesi Tengah pun terjamin ketersediaannya. Kini proses pemulihan masih terus dilakukan. Sigi, Palu, dan Donggala yang terdampak cukup parah pun terus berbenah. Dari upaya yang dilakukan Pertamina, kita jadi belajar bahwasanya seberat apapun musibah yang terjadi, dengan kebersamaan dan kepedulian, wilayah yang terkena bencana niscaya bangkit kembali.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI