Pelaksanaan sistem zonasi sekolah juga mempunyai sejumlah tujuan, yakni (1) menjamin pemerataan akses pendidikan, (2) mendorong kreativitas pendidik dalam kelas heterogen, (3) mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik, (4) menghilangkan ekslusivitas dan diskriminasi di sekolah negeri, meningkatkan akses layanan pendidikan pada kelompok rentan, (5) meningkatkan keragaman peserta didik di suatu sekolah, (6) mencegah penumpukan SDM berkualitas dalam suatu wilayah, dan (8) mendorong Pemda dalam pemerataan kualitas pendidikan. Semua itu menjadi target yang ingin diwujudkan lewat sistem zonasi sekolah.
Sebaliknya, dengan menggunakan Sistem Zonasi Sekolah, praktik itu dapat ditekan. Sebab, distribusi siswa menjadi lebih rata di setiap sekolah dan meminimalkan pungutan liar. Hal itu diamini oleh Adnan, seorang siswa saya yang bersekolah di sebuah SMAN di Pondokgede. Sewaktu saya bertanya soal praktik jual-beli kursi, ia mengaku tidak mendengar berita tersebut di sekolahnya.
Namun demikian, penerapan Sistem Zonasi Sekolah bukannya tanpa masalah. Sebut saja kekisruhan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang terjadi di Banten. Persoalan itu bermula ketika orangtua sulit mendaftarkan anaknya secara daring (online). Banyak orangtua yang kemudian protes. Mereka menyalahkan Kemdikbud atas masalah tersebut.
Akan tetapi, Pak Ari menjelaskan bahwa persoalan itu sebetulnya bukan wewenang Kemdikbud. Sebab, itu adalah tanggung jawab dinas pendidikan setempat. Kemdikbud hanyalah pembuat kebijakan, sementara dinas pendidikan setempat adalah pelaksana operasional. Makanya, protes yang dialamatkan kepada Kemdikbud boleh dikatakan "salah alamat".
Masalah lainnya adalah penerbitan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang salah sasaran di Jawa Tengah. Dalam PPDB, SKTM memang menjadi satu syarat penerimaan siswa baru. Dengan menyertakan SKTM, siswa boleh bersekolah tanpa mengeluarkan biaya. Sebab, semua ongkos pendidikannya ditanggung pemerintah.
Hal itu kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk mengeruk keuntungan. Mereka minta SKTM. Padahal, sesungguhnya mereka tergolong mampu membiayai sekolah anak secara mandiri.
Modus itu akhirnya terbongkar dan sejumlah oknum terjerat kasus hukum. Banyak pihak yang menyayangkan kasus itu. Banyak pula yang bertanya-tanya. Mengapa SKTM yang menjadi syarat dan bukan Kartu Indonesia Pintar saja yang jelas-jelas sudah didistribusi secara luas?
Pak Ari memaparkan SKTM sesungguhnya adalah produk hukum. Makanya, ia memiliki kekuatan hukum yang tegas. Siapapun yang "bermain-main" menerbitkan SKTM secara sembarangan bisa dipidanakan. Makanya, surat itu dipilih menjadi syarat pendaftaran bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Persoalan lain yang juga "menghantui" Sistem Zonasi Sekolah adalah distribusi guru. Pak Ari mengakui tidak semua sekolah mempunyai guru yang berkualitas, dan tidak semua guru bersedia dimutasi ke sekolah lainnya untuk proses pemerataan.
Makanya, Kemdikbud berupaya terus menggenjot peningkatan kualitas sumber daya manusia, supaya semua guru yang berada di bawah naungan Kemdikbud bisa tersebar secara rata dan mampu memberi pengajaran yang baik.