Sewaktu membaca artikel ini, apakah kamu sedang merasa kesepian? Saya harap tidak. Mohon maklum kalau saya mengajukan pertanyaan itu di awal artikel. Sebab, menurut beberapa sumber yang saya baca, kesepian telah menjadi "penyakit akut", yang menjangkiti mayoritas masyarakat zaman now.Â
Walaupun kini telah terkoneksi internet, ternyata kita belum lepas dari yang namanya kesepian. Kita masih bisa merasa sepi di tengah hiruk-pikuk pertemanan di dunia maya. Sungguh sebuah "anomali"!
Sebelum berbagi lebih lanjut, izinkan saya bertanya lagi. Sebetulnya apa sih kesepian itu? Pertanyaan itu tentu sulit dijawab. Sebab, kesepian berada di wilayah "rasa", bukan "logika".Â
Ia sulit dibahasakan. Namun, ia masih bisa diungkapkan dalam sebuah deskripsi. Begini. Pernahkah kamu merasa "sendirian" sebab tak ada seorang pun di sekitarmu yang memerhatikan, menyapa, dan menanyakan kondisimu?
Pernahkah kamu merasa tak ada seorang pun yang memahami dirimu, keinginanmu, dan kemauanmu? Pernahkah kamu sebal, sewot, dan marah kepada orang-orang di sekelilingmu sebab kamu merasa berjuang seorang diri? Itulah wujud nyata dari kesepian, yang sering "menghantui" hati orang-orang, termasuk saya pribadi.
Kemudian, timbul pertanyaan lain yang mungkin jauh lebih penting. Bisakah kita menangkal kesepian? Saat mendapat pertanyaan itu, pikiran saya langsung "terpental" pada "rumus kebahagiaan" yang disampaikan Martin Seligman. Kalau bicara soal kebahagiaan, Seligman memang tokoh penting. Namanya sering disebut dalam sejumlah jurnal psikologi, khususnya yang membahas psikologi positif.
Maklum saja, Seligman dianggap telah memberi "warna" tersendiri dalam jagat psikologi. Lewat serangkaian penelitiannya, ia menunjukkan bahwa psikologi tidak melulu membahas soal penyakit mental yang dialami manusia, tetapi juga perlu mengupas emosi positif dalam diri manusia, seperti kebahagiaan. Baginya, topik tentang kebahagiaan jauh lebih menarik "dibedah" daripada kesedihan semata.
Pada tahun 2002, Seligman menerbitkan buku Authentic Happiness. Dalam buku itu, ia menjelaskan kebahagiaan ialah emosi alamiah manusia. Kebahagiaan terjadi oleh beberapa sebab. Satu di antaranya ialah kebaikan hati (virtue). Menurut Seligman, kebahagiaan yang asli akan muncul manakala kita berbuat baik kepada orang lain.
Sampai di situ jelas tak ada yang membantah argumen tersebut. Sebab, memang demikianlah adanya. Kebaikan ibarat "pompa" yang mengembangkan kebahagiaan di hati kita.
Semua jenis kebaikan berlaku sama. Sekecil apapun kebaikan yang diberikan, tetap saja itu akan "menerbitkan" kebahagiaan, dan kebahagiaan itu bisa "bercokol" lama di dalam kesadaran manakala kita mengenangnya. Buktinya, saya masih ingat kebaikan-kebaikan sederhana yang pernah saya lakukan.
Saya ingat pernah memberikan kebaikan kecil kepada orang lain beberapa bulan lalu. Pada sebuah sore yang cerah, sambil naik motor, saya melewati sebuah toko cat yang sudah tutup.Â
Di depannya, terlihat bapak-bapak sedang duduk. Ia tampak letih dan kotor. Matanya terus saja menatap kosong ke jalan. Di sampingnya tergeletak pikulan, yang dijejali bungkusan kerupuk. Sepertinya itu adalah barang dagangannya yang belum banyak terjual. Mungkin ia murung lantaran belum ada yang membeli dagangannya.
Saya merasa kasihan melihatnya. Walaupun saya melihatnya hanya sepintas, bayangan wajahnya terus "menghantui" saya. Hingga akhirnya, secara spontan, saya mampir ke sebuah restoran Padang, memesan sebungkus nasi, lalu menghampiri bapak-bapak itu.Â
Saya menyerahkan nasi bungkus itu kepadanya. Ia menyambut pemberian saya dengan ucapan: "Terima kasih, Pak." dengan suara hangat tanpa melihat saya, sebab saya tahu ia seorang tunanetra. Â
Bapak-bapak itu mungkin tak tahu nama saya. Ia juga tak kenal wajah saya. Ia pun mungkin sudah lupa kejadian itu. Namun, bagi saya, kejadian itu sungguh indah dikenang. Sebab, ketika saya mengingat wajahnya yang dipenuhi senyum, hati saya menjadi gembira---sangat gembira. Bahkan, sewaktu saya menulis kisah itu, perasaan saya pun "hanyut" oleh kebahagiaan seolah kejadian itu baru saja terjadi.
Cinta Kasih Tanpa Pilih Kasih
Seperti penggunaan gas alam, kebaikan demikian tak meninggalkan "residu" negatif di hati, tetapi justru menyisakan "jejak" inspirasi dalam diri orang lain. Kebaikan yang disampaikan secara tulus, ikhlas, dan tepat akan menjadi "energi baik" yang berdampak positif bagi sesama. Setidaknya itulah yang saya saksikan manakala saya ikut melakukan kebaikan lainnya dalam acara bakti sosial di sebuah panti asuhan, di kawasan Bekasi Selatan.
Bersama teman-teman, saya datang membagikan kebahagiaan ke sana. Kami menghibur anak-anak dengan beragam jenis pertunjukkan, dan anak-anak itu tampak gembira. Sewaktu melihat atraksi barongsai, misalnya, anak-anak yang duduk di dalam tenda langsung berkerumun di pelataran.
Mereka antuasias menyaksikan tarian barongsai yang diiringi suara tabuhan genderang. Mereka tertawa bisa mengelus-elus kepala barongsai yang menghampiri mereka. Mereka bertepuk tangan sewaktu kedua barongsai berduet memperagakan aksi yang sulit. Wow! Mungkin bagi mereka, itu adalah sebuah atraksi hebat yang belum pernah mereka saksikan secara langsung.
Saya pribadi cukup kagum melihatnya. Sebab, dalam kondisi terhipnosis demikian, tubuh sukarelawan itu tetap tegak dan kuat dilewati beberapa anak. Ia sanggup menahan bobot tubuh orang-orang yang menginjaknya. Setelah selesai, ia pun tak mengalami cedera sedikit pun. Luar biasa!
Namun, bagi saya, itulah indahnya toleransi. Itulah perwujudan yang nyata dari cinta kasih tanpa pilih kasih. Makanya, sewaktu kulit mereka bersentuhan, energi di dalam tubuh mereka sesungguhnya saling bertukar. Tak ada yang tak terbagi.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa
Media Sosial
Twitter: https://twitter.com/Gas_Negara
Instagram: https://www.instagram.com/gas_negara/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H