Ibarat tsunami, gelombang financial technologi (fintech) datang "telat" sepuluh tahun ke tanah air. Buktinya, per Maret 2018, baru terdapat 40 fintech yang secara resmi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).Â
Berbeda dengan luar negeri, yang pertumbuhan fintech-nya sudah sedemikian masif. Makanya, jangan heran kalau di luar negeri, keberadaan fintech tak hanya menjadi penggerak roda ekonomi, tetapi juga gaya hidup "kekinian" masyarakat yang berdomisili di kota-kota besar.
Sebab, lewat fintech, pembayaran menjadi semakin mudah, cepat, dan sederhana. Lewat fintech, prosedur peminjaman uang yang bertele-tele juga bisa dipangkas. Lewat fintech, masyarakat pun bisa berinvestasi tanpa perlu repot mengurus administrasi yang berbelit-belit. Kemudahan itulah yang menyebabkan fintech berkembang pesat di sejumlah negara.
Contoh, di Tiongkok, jumlah fintech terus bertambah setiap harinya. Keberadaanya pun dianggap "mengancam" dan "menggusur" bank lantaran perbankan kalah bersaing merebut "hati" nasabah.Â
Kalau membutuhkan dana cepat, misalnya, masyarakat cenderung "lari" ke fintech daripada ke bank sebab fintech menawarkan proses peminjaman yang lebih singkat. Jadi, jangan heran kalau populasi fintech di Tiongkok bertumbuh melampaui bank. Untuk menyelamatkan dunia perbankan dan menekan populasi fintech di masyarakat, konon, Pemerintah Tiongkok sampai harus menutup lebih dari 10 fintech per hari
Apakah Indonesia juga akan mengalaminya suatu saat nanti? Bisa saja. Namun, itu tentunya baru akan terjadi bertahun-tahun kemudian. Sebab, ekosistem fintech di tanah air baru terbentuk beberapa tahun silam. Sepertinya masyarakat masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan dunia fintech. Makanya, perkembangan fintech di Indonesia berlangsung setahap demi setahap.
Cerminan itulah yang tampak sewaktu saya mengunjungi Fintech Fair 2018 di Mall Taman Anggrek pada tanggal 14 Juli kemarin. Bersama seorang teman yang juga sedang tertarik berinvestasi, saya menyisir setiap stan yang terdapat di situ. Sewaktu berjalan mengelilingi stan, saya melihat sejumlah perusahaan fintech dengan beragam tipe, seperti financing, lending, dan crowdfounding.
Seperti pengunjung lainnya, saya pun sempat "diprospek" oleh penjaga stan dari sebuah fintech peer to peer lending. Sebetulnya, saya sudah pernah menjajal produk dari fintech tersebut. Namun, iseng-iseng saya ingin mendengar penjelasan lebih lanjut darinya.
Walaupun mayoritas informasi yang didapat sudah pernah didengar sebelumnya, saya justru mendapat informasi terbaru tentang mekanisme "mitigasi risiko" manakala terjadi Non Performing Loan alias NPL. Bagi saya yang sudah menjadi lender, informasi itu membuka wawasan tentang "aturan main" perusahaan.
Pada tahun berikutnya, saya berharap akan lebih banyak fintech yang berpartisipasi di ajang tersebut. Dengan demikian, barulah kita bisa mengukur pertumbuhan fintech yang sesungguhnya di Indonesia.
Salam.
Adica wirawan, founder of gerairasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H