Sewaktu menghadap lensa kamera, anak lelaki itu tersenyum sambil menunjukkan dua buah sertifikat di tangannya. Dengan mengenakan toga dan jubah wisuda hitam, ia tampak bahagia berfoto ditemani kedua orangtuanya.Â
Sebetulnya foto wisuda demikian sudah umum dijumpai di masyarakat, tetapi kalau kita mengetahui bahwa anak itu pengidap disleksia, ceritanya mungkin akan "lain".
Anak itu bernama Azkanio Nikola Corbuzier. Ia adalah anak dari Deddy Corbuzier dan Kalina Oktarani. Sebagaimana diberitakan sejumlah media, kemarin, Azka---panggilan Azkanio Nikola Corbuzier---sukses menamatkan pendidikannya di jenjang SMP.Â
Tak hanya dinyatakan lulus, ia juga menyabet predikat sebagai "lulusan terbaik" di sekolah. Makanya, ia berhasil membawa pulang dua sertifikat sekaligus, yaitu sertifikat kelulusan dan sertifikat lulusan terbaik.
Prestasi itu diraih bukan tanpa halangan. Sebab, Azka diketahui mengidap disleksia. Disleksia adalah gangguan belajar yang ditandai dengan ketidaklancaran dalam membaca dan menulis.Â
Pengidap disleksia umumnya sulit mengeja kata, dan membaca sebaris kalimat dengan tepat. Ia juga lambat membikin tulisan sebab sukar merangkai kata di atas kertas. Makanya, pengidap diskleksia kerap mendapat perundungan di kelas lantaran sangat lamban mempelajari keterampilan tersebut.
Istilah disleksia mungkin masih terdengar "asing" di telinga. Saya pribadi baru mendengarnya sewaktu duduk di bangku kuliah. Itu pun terjadi tanpa sengaja. Suatu hari, dosen Mata Kuliah Menyimak memberi saya rekomendasi sebuah buku. Saya diwajibkan "melahap" isi buku tersebut agar bisa memahami perkuliahan dengan baik. Judulnya adalah Earobics, karangan Paul Madaule.
Dalam buku yang lumayan tebal itu, Madaule sempat "curhat" tentang pengalaman sulit sewaktu ia masih kecil. Pada saat itu, ia terlibat "perseteruan" dengan orangtuanya. Sebab, ia dianggap susah diatur dan lambat belajar di kelas. Akibatnya, ia kemudian dibawa ke beberapa psikolog, psikiater, dan terapi. Setelah diperiksa dengan cermat, ia "divonis" mengidap disleksia, dan diharuskan mengikuti sejumlah terapi.
Sejumlah terapi pun dilakukan. Namun, hasilnya nihil. Semua orang "angkat tangan" dalam menyembuhkannya. Maklum saja, pada saat itu, belum banyak anak yang dilaporkan mengidap disleksia. Makanya, dunia medis belum memiliki metode terapi yang tepat untuk menanganinya.
Akan tetapi, kedua orangtuanya pantang menyerah. Mereka terus berusaha. Hingga akhirnya mereka mendengar terapi Tomatis dan memutuskan mencobanya. Terapi Tomatis diciptakan oleh Profesor Alfred Tomatis, seorang dokter spesialis THT.
Terapi Tomatis berbeda dengan terapi sebelumnya. Sebab, terapi tersebut fokus melatih indera pendengaran. Makanya, sewaktu menjalaninya, Madaule diminta mendengarkan beragam bunyi-bunyian yang merangsang telinganya lewat earphone.
Setelah melewati beberapa sesi, Madaule mengaku menjadi lebih tenang. Perilaku impulsif yang ditunjukkannya selama ini, seperti berteriak-teriak, jauh berkurang. Bahkan, ia mulai bisa belajar membaca dan menulis biarpun masih terbata-bata. Makanya, kemudian ia menemukan kepercayaan diri di kelas lantaran sudah dilatih dengan tepat, hingga mampu menamatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Setelah dewasa, Madaule membaktikan hidupnya untuk mengajarkan metode Tomatis. Ia ingin membantu setiap anak yang mengidap disleksia untuk mengatasi persoalannya hingga mampu belajar secara mandiri, seperti dirinya sewaktu kecil.
Dari uraian buku itu, sebetulnya kita jadi tahu bahwa kalau ditangani dengan tepat, anak-anak pengidap disleksia dapat berprestasi di kelas. Mereka hanya butuh bimbingan, arahan, dan masukan untuk bisa mengatasi gangguan belajar yang dialaminya.
Azka dan Madaule barangkali hanya sedikit pengidap disleksia yang prestasinya sempat "didengar" dunia. Kalau menengok sejarah, sebetulnya masih ada tokoh lain yang juga mengidap disleksia sewaktu masih kecil, tetapi mampu menorehkan prestasi luar biasa setelah ia dewasa.
Sebut saja, Albert Einstein. Kisah hidup Einstein barangkali sudah menjadi "legenda" di dunia fisika. Sebab, ia adalah fisikawan yang mencetuskan Teori Relativitas. Biarpun disebut-sebut sebagai ilmuwan jenius, sewaktu kecil, Einstein bukanlah anak yang pintar-pintar amat.
Pada usia tiga tahun, Einstein belum mampu berbicara layaknya anak-anak sebayanya. Sewaktu di sekolah, ia pun lambat belajar. Ia sulit membaca dan menulis. Belakangan, ia baru sadar kalau ia pengidap disleksia. Namun, berkat pola didikan yang tepat, akhirnya ia menjadi fisikawan yang terkenal.
Demikian juga Richard Branson. Branson adalah pendiri Grup Virgin yang "menaungi" lebih dari 100 perusahaan. Walaupun termasuk satu orang terkaya di Inggris Raya dan dijuluki "jenius" karena menciptakan banyak sekali perusahaan, sejatinya Branson bukanlah anak yang cerdas di kelas. Ia sukar membuat tulisan dengan benar, malas membaca buku, dan "hobi" membikin kehebohan di kelas.
Namun, setelah dewasa, anak yang dianggap punya "masa depan suram" itu malah jadi pengusaha sukses. Tak hanya itu, ia juga produktif menerbitkan buku. Kini ia telah menulis lebih dari 20 judul buku. Sebuah prestasi yang luar biasa untuk orang yang dulunya sempat kesulitan membikin tulisan!
Berdasarkan uraian di atas, disleksia sejatinya bukanlah "mimpi buruk" kalau kita tahu cara menanganinya. Kini telah tersedia beragam terapi untuk "memoles" anak-anak pengidap disleksia. Jangan sampai disleksia menjadi satu hambatan bagi anak dalam menunjukkan potensi yang dimilikinya.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa
Referensi baca di sini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H