Setelah melewati beberapa sesi, Madaule mengaku menjadi lebih tenang. Perilaku impulsif yang ditunjukkannya selama ini, seperti berteriak-teriak, jauh berkurang. Bahkan, ia mulai bisa belajar membaca dan menulis biarpun masih terbata-bata. Makanya, kemudian ia menemukan kepercayaan diri di kelas lantaran sudah dilatih dengan tepat, hingga mampu menamatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Setelah dewasa, Madaule membaktikan hidupnya untuk mengajarkan metode Tomatis. Ia ingin membantu setiap anak yang mengidap disleksia untuk mengatasi persoalannya hingga mampu belajar secara mandiri, seperti dirinya sewaktu kecil.
Dari uraian buku itu, sebetulnya kita jadi tahu bahwa kalau ditangani dengan tepat, anak-anak pengidap disleksia dapat berprestasi di kelas. Mereka hanya butuh bimbingan, arahan, dan masukan untuk bisa mengatasi gangguan belajar yang dialaminya.
Azka dan Madaule barangkali hanya sedikit pengidap disleksia yang prestasinya sempat "didengar" dunia. Kalau menengok sejarah, sebetulnya masih ada tokoh lain yang juga mengidap disleksia sewaktu masih kecil, tetapi mampu menorehkan prestasi luar biasa setelah ia dewasa.
Sebut saja, Albert Einstein. Kisah hidup Einstein barangkali sudah menjadi "legenda" di dunia fisika. Sebab, ia adalah fisikawan yang mencetuskan Teori Relativitas. Biarpun disebut-sebut sebagai ilmuwan jenius, sewaktu kecil, Einstein bukanlah anak yang pintar-pintar amat.
Pada usia tiga tahun, Einstein belum mampu berbicara layaknya anak-anak sebayanya. Sewaktu di sekolah, ia pun lambat belajar. Ia sulit membaca dan menulis. Belakangan, ia baru sadar kalau ia pengidap disleksia. Namun, berkat pola didikan yang tepat, akhirnya ia menjadi fisikawan yang terkenal.
Demikian juga Richard Branson. Branson adalah pendiri Grup Virgin yang "menaungi" lebih dari 100 perusahaan. Walaupun termasuk satu orang terkaya di Inggris Raya dan dijuluki "jenius" karena menciptakan banyak sekali perusahaan, sejatinya Branson bukanlah anak yang cerdas di kelas. Ia sukar membuat tulisan dengan benar, malas membaca buku, dan "hobi" membikin kehebohan di kelas.
Namun, setelah dewasa, anak yang dianggap punya "masa depan suram" itu malah jadi pengusaha sukses. Tak hanya itu, ia juga produktif menerbitkan buku. Kini ia telah menulis lebih dari 20 judul buku. Sebuah prestasi yang luar biasa untuk orang yang dulunya sempat kesulitan membikin tulisan!
Berdasarkan uraian di atas, disleksia sejatinya bukanlah "mimpi buruk" kalau kita tahu cara menanganinya. Kini telah tersedia beragam terapi untuk "memoles" anak-anak pengidap disleksia. Jangan sampai disleksia menjadi satu hambatan bagi anak dalam menunjukkan potensi yang dimilikinya.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa