Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Buku Cetak di "Persimpangan" Zaman?

17 Mei 2018   12:07 Diperbarui: 17 Mei 2018   19:04 2219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika merunut sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya punya beberapa pengalaman "manis" bersama buku. Maklum saja, saya sudah "mengakrabi" buku sejak duduk di bangku SMA. Pada saat itu, saya memang sedang "tergila-gila" membaca buku. Makanya, hampir semua buku yang berbaris rapi di rak perpustakaan sekolah sudah saya "lahap" dengan antusias.

"Kegilaan" itu berawal sewaktu saya membaca sebuah cerpen Mayat, karya Putu Wijaya. Bagi saya, itu adalah cerpen yang unik. Sebab, isinya menceritakan tokoh mayat yang protes akibat ketidakadilan yang didapatnya. Ia marah-marah. Ia jengkel. Ia mencaci-maki semua pihak yang sudah "menzalimi" dirinya hingga ia mati membawa semua dendam ke alam baka.

Namun, kemarahan si mayat kemudian reda setelah ia menumpahkan semua unek-uneknya kepada seorang satpam yang dijumpainya. Sebagai orang yang bijaksana, si satpam diam menyimak curhatan si mayat biarpun dalam tuturannya si mayat sering "menggelontorkan" kata-kata kasar.

Akhirnya, setelah semua emosinya tersalurkan, si mayat menjadi letih. Seperti balon yang kehabisan udara, ia kemudian menjadi ciut dan terlihat lebih tenang. Akhirnya, berbaliklah si satpam yang berbicara kepadanya.

Lewat pembicaraan itu, si mayat akhirnya mengetahui bahwa si satpam punya nasib yang jauh lebih buruk daripadanya. Alih-alih terus menggerutu terhadap keadaannya, si mayat malah bersimpati terhadap kemalangan hidup si satpam, seraya bersyukur bahwa ternyata ada orang yang lebih parah kondisinya daripadanya.

Setelah selesai membaca cerita tersebut, saya menarik napas panjang, seraya menggumam dalam hati: "Sebuah cerita yang luar biasa!" Saya mendapat kepuasan dalam mengikuti alur cerita dan menunjukkan simpati terhadap para tokoh yang "bermain" di dalamnya.

Kepuasan itulah yang kemudian memicu saya untuk membaca lebih banyak lagi, dan dari situlah saya kemudian jadi "cinta" membaca. Makanya, jangan heran kalau teman-teman sekelas sering menjuluki saya sebagai "kutu buku", yang rajin menghabiskan waktu istirahat "bersemedi" di perpustakaan.

Kecintaan itu terus berlanjut setelah saya berkuliah di sebuah kampus negeri di Jakarta. Di sana terdapat perpustakaan yang menyediakan beragam jenis buku. Makanya, di sela-sela jadwal kuliah, alih-alih nongkrong di kantin atau bercanda di pelataran, saya memutuskan pergi mengunjungi perpustakaan. Lumayan. Sebab, saya bisa membaca beragam jenis buku, sekaligus numpang ngadem dan ngenet secara gratis. 

Dari yang awalnya cuma meminjam buku, saya kemudian jadi tertarik membeli dan mengoleksi buku. Makanya, jangan heran kalau sebagian uang jajan saya sisihkan membeli buku yang saya suka.

Kadang, kalau keinginan untuk memiliki buku sedang "kumat", tetapi uang di kantong lagi "tipis", saya sampai memfotokopi buku. Tidak tanggung-tanggung, saya bisa memfotokopi 2-3 buku sekaligus dalam sehari!

Walaupun perbuatan itu jelas melanggar peraturan---dan kini saya sudah insyaf melakukannya---pada saat itu, saya selalu merasa penasaran dengan isi buku tersebut. Oleh sebab itu, berapapun ongkos fotokopi yang mesti dibayar, saya berupaya menyanggupinya. Semua itu dilakukan demi "menghapus" rasa haus terhadap informasi dan melengkapi koleksi buku di rak.

Namun, apa yang sebetulnya saya dapat dengan mengoleksi buku hingga saya keukeuh mengeluarkan cukup banyak uang? Semua buku yang saya baca memang tidak memberi apapun kepada saya, kecuali informasi penting yang mengubah cara hidup saya.

Sebut saja buku Use Your Head, karangan Tony Buzan. Saya menemukan buku itu di perpustakaan jurusan. Isinya lebih banyak membahas teknik-teknik belajar. Setelah selesai membacanya dalam waktu lima hari, saya merasa tergugah. Sebab, saya memang sedang membutuhkan panduan belajar yang praktis untuk memperbaiki nilai ip saya.

Makanya, saya mencoba semua teknik belajar yang disampaikan di situ. Hasilnya? Nilai saya melesat! Berkat penerapan teknik itu, pernah dalam satu semester, saya diganjar IP 3,9! Pada saat itu, mata saya melihat cahaya kesuksesan yang luar biasa! Saya yang sebelumnya tergolong sebagai mahasiswa yang "ogah-ogahan" kemudian mendapat motivasi yang kuat untuk "menaklukkan" semua mata kuliah di setiap semester.

Semua itu berawal dari buku. Andaikan saya malas membaca buku tersebut, saya mungkin hanya akan mendapat nilai standar di bangku kuliah. Itulah manfaat besar yang saya tuai dari membaca buku.

Oleh sebab itu, saya kemudian terus melanjutkan kebiasaan membaca buku sewaktu memasuki dunia kerja. Biarpun terus disibukkan oleh berbagai tugas sehingga intensitas membaca buku cenderung turun daripada sebelumnya, saya masih menyempatkan diri untuk membaca buku.

Sedikit demi sedikit, saya pun tetap mengoleksi buku hingga kini tercatat sekitar 200 judul buku bersemayam di lemari saya. Namun, sayangnya, itu menimbulkan sedikit masalah. Sebab, saya hanya punya sedikit ruang untuk menyimpan buku-buku koleksi saya. Oleh sebab itu, saya mesti membatasi diri dalam mengoleksi buku. Jangan sampai semua buku tersebut tercecer dan terbengkalai lantaran tak ada tempat untuk menaruhnya.

Apakah sebaiknya saya beralih mengoleksi buku digital saja yang jauh lebih hemat kertas dan tempat? Entahlah. Sebab, selama ini, saya merasa kurang menikmati buku digital. Bagi saya, informasi yang dituang ke dalam lembar demi lembar kertas sebuah buku cetak terasa lebih "legit" di pikiran. Makanya, biarpun punya koleksi buku digital, saya lebih favorit membaca buku cetak.

Namun demikian, saya tetap perlu mempersiapkan diri dalam menyambut perubahan. Sebab, tren buku cenderung mengarah kepada dunia digital. Apalagi kini berkat teknologi virtual reality dan augmanted reality, buku bisa dinikmati dalam wujud tiga dimensi.

Makanya, jangan heran kalau pada masa depan, saat seorang anak membuka buku, akan keluar beragam objek virtual layaknya film Jumanji, dan tren membaca buku pun akan turut berubah mengikuti laju zaman.

Selamat Hari Buku Nasional 2018!

Salam.

Adica Wirawan, Founder of Gerairasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun