Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Belajar" Storytelling" di Panggung Karma

24 April 2018   11:08 Diperbarui: 25 April 2018   17:54 4144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panggung Karma tiba-tiba saja menjadi "hening" sewaktu seorang partisipan bernama Yati menuturkan kisahnya. Di hadapan Robby Purba dan Roy Kiyoshi, wanita bertubuh kurus itu mengisahkan bahwa ia telah menjalani pernikahan yang buruk selama 25 tahun.

Pasalnya, mantan suaminya sering melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Dengan berurai air mata, ia menceritakan perlakuan mantan suaminya yang tega memukul, menendang, dan mengasarinya sepanjang usia pernikahan mereka. Makanya, kemudian ia menjadi sangat dendam dengan mantan suaminya.

Biarpun telah bercerai, penderitaan Yati ternyata belum usai. Sebab, ia punya masalah lain. Kali ini ia bermasalah dengan seorang tetangganya, yang tinggal di dekat kediamannya. Persoalan itu muncul setelah si tetangga mengaku melihat "sosok iblis" dalam diri Yati. Ia juga menyebutkan sering mengalami kerasukan sewaktu berjumpa dengannya.

Makanya, kemudian si tetangga menyebarkan isu yang bukan-bukan, dan menuduh bahwa Yati ialah dukun yang punya "ilmu hitam". Padahal, menurut pengakuan Yati, tuduhan itu ialah fitnah. Pasalnya, ia tak punya "ilmu hitam" apapun, dan tak ada niat untuk menyakiti siapapun.

Oleh sebab itu, dalam kondisi hati yang "remuk" itulah, Yati datang ke panggung Karma, menceritakan kisahnya di depan semua orang, berharap menemukan jalan keluar atas masalah yang melilitnya selama puluhan tahun. "Saya cuma ingin hidup normal," katanya, dengan suara terisak.

Setelah selesai menyimak kisahnya, hati saya "trenyuh". Saya seolah merasakan betul penderitaan yang dialaminya. Bayangkan kalau kita menjalani pernikahan yang buruk, memiliki pasangan yang sering main tangan, dan mendapat tuduhan palsu dari tetangga selama sekian tahun.

Kehidupan demikian tentunya sulit sekali "dipikul", "ditanggung", dan "dijalani". Makanya, sesudah mendengarkan ceritanya, pemirsa yang hadir di panggung itu pun terlihat menitikkan air mata. Kami larut dalam kesedihan dan ikut mendoakan kebaikan hidupnya nanti.

Dengan mengesampingkan benar-tidaknya reality show Karma, saya tertarik dengan penuturan yang disampaikan oleh para partisipannya. Sebab, penuturan itu termasuk storytelling.

Dalam kehidupan sehari-hari, storytelling bukan hanya sekadar "bumbu" dalam obrolan antarteman, melainkan juga teknik jitu untuk tujuan tertentu. Sebab, storytelling dapat dipakai untuk menjual dan memasarkan produk.

Dalam satu bukunya, All Marketers Are Liars, Seth Godin, seorang pakar pemasaran terkemuka, menyebut bahwa pemasar yang hebat adalah pemasar yang terampil menuturkan kisah. Ia membangun persepsi lewat cerita tentang produk yang dijualnya. Dari situlah, kemudian pelanggan tertarik membeli produk yang ditawarkan.

Godin sepertinya menyadari kekuatan sebuah cerita dalam memasarkan produk. Sebab, pada masa kini, pelanggan sudah bosan "dicekoki" teknik pemasaran gaya lama, yang hanya menonjolkan keunggulan produk semata. "Pelanggan zaman now" membutuhkan cerita tentang produk tersebut, bukan lagi fitur yang disediakan. Buktinya, kalau ingin membeli barang baru, pelanggan akan minta cerita pengalaman dari orang yang sudah memakainya. Semua itu tergolong pula sebagai storytelling.

Storytelling bisa juga digunakan untuk pidato. Pernah dengar pidato Steve Jobs saat wisuda Universitas Stanford pada tahun 2005? Konon, pidato itu disebut-sebut sebagai satu "pidato terhebat" di dunia! Lantas, apa isi pidato tersebut? Apakah Steve Jobs berorasi layaknya pendemo ojek online di depan gedung DPR kemarin? Ternyata tidak.

Jobs hanya bercerita, bercerita, dan bercerita. Ia mengisahkan masa awal ketika ia dan Steve Wozniak mulai membangun perusahaan Apple dari garasi orang tuanya, kasus pemecatan dirinya, hingga upaya menjadikan perusahaan itu sebagai "perusahaan paling bernilai" di dunia. Alih-alih berteori panjang lebar tentang teknologi, Jobs memutuskan berbagi kisahnya, dan selebihnya pidato itu masuk ke dalam "catatan sejarah".

Sementara itu, storytelling dapat juga diterapkan dalam penulisan blog. Bagi saya, blog yang menarik ialah blog yang menghadirkan cerita, dan cerita itu berasal dari "suara hati" dari penulisnya. Makanya, blog yang ditulis dari hati penulisnya sanggup meninggalkan "gaung" di jiwa pembacanya.

Namun demikian, timbul satu pertanyaan. Cerita seperti apa yang mampu "menggetarkan" hati penyimaknya? Pertanyaan itu mengingatkan saya pada "kalimat legendaris" dari mantan CEO Disney, Michael Eisner. Pasalnya, dalam sebuah kesempatan, ia berkata bahwa cerita yang hebat ialah cerita yang mampu merefleksikan pengalaman pemirsanya. Dengan mendengar cerita itu, si pemirsa akan terkenang pengalaman yang sudah dilewatinya, dan itu bisa menimbulkan emosi tertentu.

Sebut saja pengalaman saya sewaktu menulis drama angkutan online tempo lalu. Lantaran saya sering memakai jasa angkutan online, di dalam perjalanan, si driver kerap menceritakan pengalamannya kepada saya. Memang mayoritas cerita yang ditampilkan mengandung nuansa kesedihan. Jarang saya mendengar driver yang punya pengalaman happy dengan customernya. Wkwkwkwkwkwkwk.

Makanya, sebagian pengalaman itu kemudian "dijahit" menjadi sebuah artikel dan ditayangkan di Kompasiana beberapa waktu yang lalu. Setelah dipublikasikan sekian jam, ternyata artikel itu "menuai" banyak komentar. Ada yang menyatakan simpati terhadap nasib nahas si driver. Ada pula yang menghujat dengan kata-kata ketus.

Dari situ, secara tersirat, cerita driver tersebut mampu merefleksikan pengalaman mereka. Bisa saja mereka juga pernah mendengar kisah serupa, atau bahkan mengalaminya sendiri. Makanya, bagi mereka, kisah itu "mengena" di hati. (Selebihnya, Anda bisa membacanya di artikel berikut: "Drama Getir" di Mobil Angkutan Daring.

Namun, apakah semua cerita mampu merefleksikan pengalaman pemirsanya? Ternyata tidak. Sebab, hanya cerita-cerita yang menyajikan suatu masalah dan menawarkan solusi-lah yang bisa melakukannya. Seri Chicken Soup for The Soul, misalnya, laris dibeli masyarakat karena ceritanya menampilkan persoalan, serta solusi dari masalah itu.

Serial Karma juga demikian. Lewat cerita yang ditampilkan partisipannya, sebetulnya kita mendengar masalah, dan masalah itu kemudian diberi solusi pada akhir sesi. Setelah menyimak semua itu, akhirnya kita mendapat "hikmah" dari cerita yang dituturkan.

Episode demi episode Karma yang disaksikan sejatinya menunjukkan kekuatan cerita. Cerita tak hanya mampu mengemas informasi secara lebih menarik, tetapi juga mampu memengaruhi emosi orang lain. Makanya, di atas panggung Karma yang minim cahaya, kita seolah belajar menyusun cerita yang dapat merefleksikan pengalaman hidup banyak orang.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun