Sekelompok wanita berparas cantik sedang melakukan jogging di pelataran Garuda Indonesia Training Center, dan sewaktu mata saya "melirik" mereka, tanpa rasa sungkan, mereka membalas lirikan saya, menunjukkan senyuman yang manis, dan mengucapkan salam dengan penuh keramahan.
Mereka ialah calon pramugari yang sedang "ditempa" di lembaga pendidikan dan pelatihan milik maskapai Garuda Indonesia tersebut. Seperti hal sebuah sekolah, lembaga tersebut "menanamkan" sejumlah nilai kepada para siswanya. Satu di antaranya ialah keramahan kepada siapa pun, termasuk orang asing yang tidak dikenal seperti saya.
Di lembaga itu, "aroma keramahan" memang sudah terendus sewaktu saya dan kawan-kawan Kompasianer menyambangi Gedung A lembaga tersebut. Pasalnya, di pintu masuk, satpam yang menyambut kami telah menunjukkan keramahan yang unik.
Sebab, agak jarang saya menjumpai petugas sekuriti yang bersikap ramah terhadap pengunjung yang datang. Rata-rata memasang wajah datar dan meluncurkan kalimat-kalimat dengan suara dingin. Sangat berjarak. Namun, hal itu tidak ditemukan di tempat tersebut.
Setelah memasuki gedung tersebut, di bagian informasi, dua orang wanita berparas ayu juga mengucapkan salam dan kata-kata yang ramah seolah kami yang adalah "tamu spesial"! Mereka mengarahkan kami ke ruang acara, bersedia melayani pertanyaan kami, dan mau berpose saat difoto. Semuanya dilakukan dengan sikap bersahabat.
Pasalnya, dalam sebuah wawancara, Emirsyah Satar sempat menyebut bahwa produk utama dari maskapai Garuda Indonesia bukan berupa jumlah pesawat yang dimiliki, atau tipe pesawat yang diandalkan, melainkan kualitas layanan yang diberikan awak pesawat kepada para penumpang.
Makanya, kemudian Emirsyah Satar "merombak" pola pendidikan dan pelatihan milik maskapai Garuda Indonesia. Garuda Indonesia Training Center pun menjelma menjadi "Kawah Candradimuka", yang tak hanya "menggembleng" calon pilot dan pramugari dalam hal kemahiran bekerja, tetapi juga membentuk sikap yang terpuji.
Saya pun berkesempatan mengintip sedikit "Kawah Candradimuka" tersebut untuk mengetahui pola latihan yang dijalani para pramugari di Gedung F. Poin awal yang saya catat sewaktu melihat-lihat ialah bahwa calon pramugari tersebut umumnya "dituntut" menjaga penampilan.
Maklum saja, penampilan ialah "modal utama" seorang pramugari. Makanya, jangan heran kalau dalam kondisi apapun, calon pramugari itu selalu memakai make up. Buktinya, sewaktu mereka melakukan simulasi di air atau jogging di pelataran, saya mengamati wajah mereka tetap bermake-up. Luar biasa!
Selain itu, adapun "modal" lainnya yang juga harus dimiliki seorang calon pramugari Garuda Indonesia, yaitu (1) masih lajang, (2) sehat jasmani dan rohani, (3) usia minimum 18 tahun dan maksimum 27 tahun saat pendaftaran, (4) tinggi badan minimum 158 cm dan maksimum 172 cm, dengan berat badan ideal dan postur tubuh proporsional, (5) pendidikan minimum SMA/SMK/Sederajat, diutamakan lulusan D3 ke atas, (6) Tidak menggunakan kacamata (lensa kontak diperkenankan dengan ketentuan maksimal minus -3.00, silindris C -1.00), dan (7) mampu Mampu berbahasa Inggris dengan baik (lisan maupun tulisan), diutamakan memiliki kemampuan bahasa asing lainnya.
Tak hanya fisik, keterampilan mereka juga ikut "dipoles". Satu di antaranya ialah keahlian mencicipi makanan. Pasalnya, di sebuah ruangan, terdapat pelajaran dalam mencicipi dan menyajikan makanan untuk penumpang.
Kemudian, di depan kelas, saya juga melihat seorang instruktur yang menjelaskan tata cara menyajikan anggur untuk kelas eksekutif. Jadi, pada sesi itu, calon pramugari diajarkan cara mengangkat botol, menuangkan anggur, dan meletakkannya kembali di rak. Semuanya dijelaskan dengan penuh detil.
Suasana ruang simulasi tersebut sengaja dibuat temaram dan sedikit gaduh. Sebab, latar yang ingin ditampilkan adalah laut yang berbadai. Makanya, jangan heran kalau suasana di sekitar ruang tersebut sangat ribut.
Dari pintu pesawat yang terbuka, satu per satu calon pramugari keluar dan terjun ke air dengan menggunakan pelampung. Mereka masuk ke air dengan posisi punggung menghadap air, layaknya penyelam yang memasuki laut. Hal itu bertujuan supaya mata tidak kemasukan air lain.
Dengan menggunakan pakaian khusus, mereka berenang mencapai perahu karet. Setelah dua calon pramugari sukses menaiki perahu, mereka membantu rekan-rekannya yang masih berupaya berenang di air. Itu ialah satu nilai lainnya yang ditanamkan kepada calon pramugari: selalu utamakan keselamatan penumpang.
Apakah "hanya" itu latihan yang dijalani para calon pramugari tersebut? Ternyata tidak. Pasalnya, ada beberapa latihan lainnya yang mesti dilakukan, seperti latihan keamanan penerbangan, ilmu kesehatan, ilmu penerbangan, aneka evakuasi, cabin practice, dan human factor. Dalam satu hari, mereka bisa berlatih selama 8 jam dan total materi yang diajarkan sekitar 20 jumlahnya.
Pelatihan calon pramugari Garuda Indonesia berlangsung sekitar 3 bulan. Masa pelatihan itu disebut ground training. Lalu, setelah selesai, ada flight training yang diadakan Garuda Indonesia bersama Kementerian Perhubungan. Jadi, secara keseluruhan, waktu latihan bisa mencapai satu tahun lebih.
Mewujudkan slogan "Selamanya (Selamat, Aman, dan Nyaman)"
Semua itu tentunya mendukung terwujudnya slogan "Terbang Selamanya" (Selamat, Aman, dan Nyaman). Sebuah slogan yang "digaungkan" oleh Kementerian Perhubungan Udara. Makanya, slogan itu menjadi "barometer" dalam setiap aspek penerbangan, termasuk layanan terhadap penumpang.
Biarpun dalam dunia bisnis terdapat sebuah pameo bahwa pelanggan adalah raja, pada dasarnya, setiap manusia mengharapkan hal yang sama. Dalam setiap penerbangan yang dialaminya, masing-masing penumpang tentunya berhadap keselamatan. Selamat di jalan, selamat pulang di lokasi tujuan.
Makanya, keselamatan itulah yang menjadi satu prioritas, dan prioritas itulah yang berulang kali ditekankan dalam proses pelatihan di Garuda Indonesia Training Center. Pasalnya, sewaktu saya bertanya kepada Chacha, seorang calon pramugari yang ikut simulasi evakuasi tadi, ia menjelaskan telah mendapat banyak pelatihan, termasuk cara menangani persalinan. "Bahkan, kami diajarkan menangani penumpang yang akan melahirkan di dalam pesawat," tuturnya.
Kemudian, aspek keamanan juga patut menjadi sorotan. Dalam bukunya, Social Intelligence, Daniel Goleman menyebutkan bahwa keamanan ialah kebutuhan paling dasar manusia. Tanpa rasa aman, biarpun selamat sampai tujuan, perjalanan dapat terasa kurang enak. Jadi, sebetulnya diperlukan perasaan aman, dan perasaan itu dapat ditimbulkan dengan perlakuan ramah.
Perlakukan ramah terbukti dapat meredakan ketegangan, melepaskan stres, dan membangkitkan kebahagiaan. Buktinya, kita akan merasa damai sewaktu berada di dekat orang yang penuh keramahan. Makanya, jangan heran kalau setiap pramugari dilatih bersikap ramah kepada siapa pun.
Aspek kenyamanan juga perlu mendapat perhatian. Barangkali aspek itu baru akan terwujud manakala dua aspek sebelumnya terlaksana. Jadi, anggap saja kalau aspek itu ialah "bonus" yang didapat dalam penerbangan.
Buat saya, kunjungan ke Garuda Indonesia Training Center memberi saya "oleh-oleh" berupa wawasan tentang sejumlah prosedur yang dilakukan awak pesawat. Dengan demikian, sewaktu terbang pada lain kesempatan, saya dapat menerapkan prinsip yang diperoleh darinya. Biar perjalanan yang dilangsung bisa terasa happy. Biar saya bisa terbang selamanya (selamat, aman, dan nyaman).
Salam.
Adica Wirawan
Facebook: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
Twitter: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
Instagram : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
YouTube : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H