Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Pedagang yang "Ogah" Bayar Utang Menyebabkan Lonjakan Harga Sembako?

23 Maret 2018   13:24 Diperbarui: 23 Maret 2018   13:26 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kegiatan perdagangan di pasar babelan, kabupaten bekasi (sumber: dokumentasi pribadi)

Kalau boleh meminjam judul sebuah lagu, kehidupan pasar ialah "separuh napas" dalam hidup saya. Sebab, sejak kecil, saya sudah ikut membantu orang tua saya berdagang di sebuah pasar di kawasan Babelan, Kabupaten Bekasi. Saya ingat bahwa sewaktu masih SD, orangtua saya sering membangunkan saya pagi-pagi betul, menyuruh saya mandi, lalu membawa saya ke pasar untuk ikut berdagang. Di toko kecil milik orangtua, saya membantu mengurus, mengelola, dan menjual barang dagangan yang dijajakan.

Saya merasa sungguh lelah setiap pulang dari pasar. Kadang saya juga mengeluh bahwa "jatah libur" saya terpakai akibat harus bekerja di pasar. Maklum saja, dulu, pada bulan puasa, sekolah diliburkan "total" selama sebulan. Makanya, saya sering merasa iri terhadap teman-teman saya yang bebas bermain tembak-tembakan, sepakbola, dan playstation, sementara sehari-hari saya malah sibuk menimbang terigu hingga baju kotor, memindahkan peti gula merah di gudang, dan mengangkut bawang putih ke toko pelanggan.

Namun demikian, dari situlah kemudian, saya mengenal dunia perdagangan dengan semua "lika-liku"-nya. Sejak usia belia, saya memahami perilaku pedagang-pedagang pasar, serta "permainan harga" yang dilakukan. Sebuah "ilmu jalanan" yang belum tentu saya peroleh di bangku sekolah. Biarpun sekarang sudah jarang "terjun" langsung ke pasar, semua pengalaman itu terus "membekas" di dalam ingatan saya, hingga ingatan itu terpatik kembali sewaktu saya mengikuti acara Perspektif Kompasiana bersama Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita.

Pasalnya, dalam uraiannya yang disampaikan secara lugas, Pak Enggar menyinggung upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pasar, terutama pada bulan puasa. Sebab, seperti sebuah "tradisi tahunan", harga kebutuhan pokok akan merangkak naik pada bulan Ramadhan. Makanya, Pak Enggar kemudian menjelaskan "jurus-jurus" yang dipakai pemerintah untuk meminimalkan lonjakan harga di pasaran.

Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Enggartiasto Lukita, dalam Acara Perspektif Kompasiana (sumber: dokumentasi pribadi)
Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Enggartiasto Lukita, dalam Acara Perspektif Kompasiana (sumber: dokumentasi pribadi)
Lonjakan Harga Disebabkan Perilaku Pedagang?

Kalau ditelusuri "akar" persoalannya, lonjakan harga tersebut ternyata disebabkan oleh beberapa faktor. Satu di antaranya ialah perilaku pedagang yang "malas" bayar utang. Lho, memang ada hubungan antara hal itu dan kenaikan harga di pasaran? Ternyata ada dan itu mempunyai kaitan dengan keluhan yang disampaikan beberapa sales sewaktu berkunjung ke toko saya.

Maklum saja, sales yang datang ke toko saya umumnya sering mengeluhkan macetnya pembayaran beberapa toko yang harus disambanginya. Menurut cerita mereka, ada saja pemilik toko yang "kabur" saat ditagih utangnya. Ada pula yang sengaja membayar utang pada sore hari, biarpun si sales sudah datang pada pagi hari. Makanya, saat mendapat jadwal kunjungan ke toko itu, mereka sering "uring-uringan" di jalan.

Pasalnya, upaya penagihan itu sudah pasti akan menguras waktu, tenaga, dan emosi. Belum lagi, saat kembali ke kantor, mereka harus merapikan uang setoran dan mengganti nominal kalau ternyata ada jumlah setoran yang kurang sewaktu dihitung ulang. Miris? Jelas. Sebab, demikianlah kerasnya dunia sales yang saya dengar secara langsung.

Kemudian sempat saya bertanya apakah si sales pernah menegur pemilik toko yang malas bayar utang? Beberapa menjawab pernah. Reaksinya? Ternyata si pemilik toko malah marah-marah. Ternyata si pemilik sales merasa tersinggung akibat dianggap enggak sanggup bayar utang, biarpun kenyataannya begitu. Wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk.

Makanya, si sales harus tahan banting sewaktu mendapat omelan si pemilik toko. Kalau sudah demikian, si sales biasanya menggunakan jurus berikutnya, yaitu mengurangi jatah barang yang dipesan pemilik toko tersebut dan fokus menawarkan barang kepada pemilik toko lainnya yang pembayarannya tepat waktu.

Hal itulah yang menyebabkan sebuah toko bisa punya stok barang yang berlimpah, sementara lainnya sulit mendapat barang jualan. Akhirnya, toko yang kurang barangnya akan membeli barang tersebut kepada toko lainnya, dan hal itu mengakibatkan rantai pasokan lebih panjang dan harga pun naik.

Secara tersirat, hal itu juga akan menciptakan monopoli pasar. Saat mempunyai stok barang yang berlimpah ruah, sebuah toko bisa dengan bebasnya memonopoli harga barang yang dijual. Apalagi, kalau jumlah barang sedang langka. Harga barang bisa naik berkali-kali lipat.

Sistem monopoli seperti itulah yang diantisipasi oleh pemerintah, terutama oleh Kementerian Perdagangan. Pasalnya, permainan monopoli demikianlah yang menyebabkan harga barang naik secara drastis. Permainan demikian tak hanya dilakukan oleh toko seperti dikisahkan di atas, tetapi juga oleh produsen dan pedagang besar.

Sebut saja kasus monopoli yang dilancarkan sebuah produsen gula. Seperti dikisahkan Pak Enggar dalam acara Perspektif Kompasiana, produsen tersebut ialah pemimpin pasar, yang telah lama "merajai" pasokan gula di tanah air. Makanya, produk gula yang beredar di masyarakat mayoritas berasal dari produsen tersebut.

Hal itu tentunya rawan terhadap praktik monopoli pasar. Sebab, si produsen bebas "mengatrol" harga produk, apalagi kalau situasinya tepat, seperti bulan puasa. Bisa-bisa harga produk gula terus naik, hingga masyarakat sulit memperolehnya.

Untuk mengantisipasi persoalan itu, pemerintah, terutama Kementerian Perdagangan, mencoba bernegosiasi dengan produsen tersebut untuk menurunkan harga. Lewat upaya itulah, harga gula tetap terjaga stabilitasnya di pasar. Dengan demikian, perusahaan masih bisa mendapat "untung" dan rakyat juga "diuntungkan".

Melaksanakan "Tiga Mandat" Presiden untuk Kementerian Perdagangan

Menjaga stabilitas harga, sebagaimana diuraikan di atas, sebetulnya merupakan satu dari "tiga mandat" yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo untuk Kementerian Perdagangan. Dua lainnya ialah meningkatkan ekspordan menjaga neraca perdagangan,serta merevitalisasi pasar rakyat.

Khusus untuk menjalankan mandat menjaga stabilitas harga, Kementerian Perdagangan sudah menggunakan beberapa jurus. Satu di antaranya ialah penetapan regulasi Harga Eceran Tertinggi (HET) atas beras, gula pasir, minyak goreng, dan daging sapi beku. Regulasi itu telah dilaksanakan sejak tahun 2017, dan sukses menstabilkan harga barang tersebut, seperti gula pasir yang berada di kisaran Rp 12.500/kg, minyak goreng Rp 11.000/ liter, dan daging beku Rp 80.000/kg.

komoditas barang di pasar (sumber: dokumentasi pribadi)
komoditas barang di pasar (sumber: dokumentasi pribadi)
Untuk menyukseskan regulasi tersebut, Kementerian Perdagangan juga melakukan upaya monitoring, seperti pemantauan di gudang Bulog, distributor, dan ritel modern, pengawasan terhadap 582 berlogo SNI, dan pemantauan terhadap 198 pasar rakyat yang dilakukan oleh BPS, 165 pasar rakyat oleh Kemendag, dan 10 pasar induk. 

Selain itu, terdapat juga upaya khusus, seperti (1) melakukan koordinasi dengan instansi terkait di pusat dan daerah, (2) membentuk tim penetrasi pasar, (3) menyosialisasikan kebijakan pangan kepada pelaku usaha, (4) menambah rute gerai maritim menjadi 13 rute, dan (5) mengadakan operasi pasar.

Semua "jurus" itu tentunya bertujuan "mengerem" lonjakan harga barang di pasaran. Namun demikian, menurut hemat saya, sekiranya daftar barang yang tercantum di regulasi HET perlu ditambah, seperti cabai dan bawang. Pasalnya, kedua jenis komoditas itu juga sempat melonjak tajam harganya pada tahun lalu, dan itu pun berpengaruh pada harga makanan yang dijual lantaran mayoritas restoran mengandalkan kedua komuditas itu dalam mengolah makanan. Dengan demikian, pada momen-momen tertentu, seperti jelang Lebaran, harga komoditas tersebut masih bisa dijangkau masyarakat luas.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun