Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Apa "Barometer" dalam Mendeteksi Kebohongan?

18 Januari 2018   11:36 Diperbarui: 18 Januari 2018   15:12 1499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada suatu ketika, di sebuah negeri nun jauh sana, seorang politikus disinyalir "memainkan" sebuah drama yang ciamik di hadapan majelis hakim yang terhormat. Pasalnya, ia berlaku layaknya orang sakit manakala dicecar pertanyaan yang disampaikan hakim atau jaksa penuntut umum.

"Lupa", "lupa", dan "lupa" ialah kata-kata yang terus diulanginya sewaktu ditanya perihal kasus yang menjeratnya. Kata-kata itu disampaikan dengan suara lirih di ujung mikrofon dan dengan wajah tertunduk.

Saat majelis hakim bertanya apakah terdakwa sedang sakit, ia mengiyakannya dan beralasan sudah menderita sakit beberapa hari sebelumnya. Sontak, pernyataan itu menuai "kontroversi".

Pasalnya, petugas rutan yang menjaga dan mengawalnya menuturkan bahwa terdakwa sehat-sehat saja di dalam sel. Tidak ada keluhan sakit apapun yang disampaikan.

Namun, mengapa terdakwa mengaku sakit, padahal sesungguhnya baik-baik saja? Apakah ia telah berdusta di muka pengadilan? Entahlah. Biarlah tenaga ahli, seperti dokter, yang memastikan kebenaran pernyataan tersebut.

Namun demikian, kebohongan di depan pengadilan bukanlah hal yang baru terjadi, dan hal itu mungkin saja terasa manusiawi. Saat seseorang "terancam" dihukum, ia akan menghalalkan segala cara, termasuk berbohong, agar terbebas dari hukuman.

Hal itu tentunya bisa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pernah lihat anak kecil yang terus menyangkal tuduhan dan berupaya "memutarbalikkan" fakta biarpun sudah terbukti melakukan kesalahan? Saya pernah dan saya pikir itulah "mekanisme alamiah" otak manusia, yang mencoba mempertahankan dirinya dari "ancaman".

Namun demikian, biarpun naluriah, bukan berarti bahwa kebohongan ialah suatu perbuatan yang pantas dan kita bebas membenarkan tindakan tersebut. Pasalnya, kita juga harus mempertimbangkan "tanggung jawab", apalagi kalau kebohongan itu mengakibatkan kerugian banyak pihak.

Meskipun demikian, belum banyak yang tahu cara menguak kebohongan. Sepertinya hanya orang-orang "berkecimpung" di dunia hukum-lah yang mengetahuinya. Namun demikian, ada beberapa buku yang ditulis oleh penegak hukum dan profesional, yang berupaya menjelaskan teknik dalam mengungkap kebohongan, seperti 7 Hari Pintar Membaca Pikiran karangan Janine Driver dan Buku Pintar Memahami Bahasa Tubuh karya James Borg.

Walaupun tidak dikhususkan membahas kebohongan, ada satu bab di dalam kedua buku tersebut yang mengupas persoalan tersebut. Bahasan yang disampaikan tentunya dikaji dalam perspektif "bahasa tubuh". Maklum saja, kedua penulisnya ialah pakar dalam bahasa tubuh.

Namun demikian, gaya bertutur keduanya jelas berbeda. Hal itu bisa dilihat dari latar belakang dan pekerjaan penulisnya. Janine Driver, misalnya, pernah bekerja sebagai aparat penegak hukum di bawah Departemen Kehakiman Amerika Serikat selama lima belas tahun. Makanya, dalam bukunya, kita seolah membaca buku detektif. Semuanya terukur dan terstruktur, khas seorang penyidik.

Sementara itu, James Borg ialah seorang pakar persuasi yang telah melayani sejumlah klien dari penjuru dunia. Bahasannya lebih banyak "dibumbui" oleh teori psikologi termuktahir, yang "dikemas" dengan bahasa yang renyah, humoris, dan ringan.

Meskipun punya style bertutur yang berbeda, intisari bahasan tentang kebohongan yang diuraikan keduanya ternyata sama. Keduanya menyebut bahwa untuk mendeteksi kebohongan, kita wajib memahami dua konsep, yaitu perilaku dasar dan aktivitas pengalihan. Hanya sesederhana itu.

Namun, marilah kita "mengintip" sedikit konsep tersebut. Kita mulai dari perilaku dasar. Perilaku dasar adalah kebiasaan kita dalam bertindak secara normal. Perilaku itu bisa muncul manakala pikiran kita sedang tenang, bebas dari emosi. Makanya, untuk mengetahui perilaku dasar seseorang, kita cukup mengamati gerak-geriknya sehari-hari.

Pengetahuan tentang perilaku dasar orang tersebut menjadi penting manakala kita ingin mengetahui isi hatinya. Sebab, isi hati seseorang ternyata berdampak pada tingkah laku yang diperlihatkannya.

Pernah lihat seorang teman yang berubah menjadi "salah tingkah" di dekat lawan jenis, padahal sehari-harinya ia bersikap kalem dan tenang? Dari situ sebetulnya kita sudah bisa menebak bahwa ia sebetulnya orang yang pemalu terutama sewaktu berada di dekat lawan jenis. Lewat perubahan perilaku itulah, kita bisa membaca isi hatinya.

Namun demikian, pengamatan demikian butuh waktu yang lama, bisa berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan agar penilaian yang dilakukan tepat dan akurat. Makanya, untuk sejumlah kasus, seperti tindak kriminal, hal tersebut tidak bisa dilakukan sebab pengadilan harus segera dilakukan.

Oleh sebab itu, penyidik yang menangani suatu kasus kejahatan umumnya "dibekali" trik khusus untuk mengungkap pikiran dan perasaan tersangka suatu kejahatan dalam waktu yang relatif singkat. Janine Driver menyebut satu trik, yaitu membangun kenyamanan mitrabicara.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Memang tidak semua penyidik punya keterampilan antarpersonal yang baik sehingga bisa menjalin keakraban dengan orang asing dalam waktu cepat. Namun, penyidik bisa membangun kenyamanan terhadap mitra biacaranya dengan mencari kesamaan.

Bukankah kita akan langsung merasa "klop" berkomunikasi dengan orang yang punya kesamaan dengan kita? Hal itulah yang dilakukan dua penyidik yang sukses membuat Jeffrey Dahmer, seorang buruh pabrik cokelat berusia 32 tahun, untuk mengakui kejahatannya.

Sebagaimana diceritakan Janine Driver dalam bukunya, Jeffrey dituduh telah melakukan pembunuhan berantai terhadap puluhan wanita. Tak hanya dihabisi nyawanya, tubuh wanita itu juga dimutilasi.

Dua penyidik kemudian "diutus" menginterogasinya. Interograsi itu berlangsung berjam-jam. Hasilnya? Jeffry mengakui semua kejahatannya! Lantas, bagaimana cara kedua penyidik tersebut "memaksa" Jeffry menceritakan perbuatannya? Agama.

Sebelum melakukan interograsi, kedua penyidik itu sudah mengantongi informasi bahwa Jeffry sangat dekat dengan neneknya karena sejak ia kecil, neneknya yang sudah merawat dan membesarkannya. Selain itu, neneknya juga ialah orang yang taat beribadat dan patuh menjalankan ajaran agama.

Makanya, dalam obrolan bersama Jeffry, kedua penyidik itu menyinggung soal ajaran agama. Mereka membangun kesamaan dengan Jeffry lewat obrolan seputar agama. Jeffry yang awalnya terus menyangkal perbuatannya akhirnya mengaku juga karena pembicaraan itu mungkin saja mengingatkannya pada neneknya.

Aspek lain yang juga patut dipertimbangkan ialah aktivitas pengalihan. Aktivitas pengalihan ialah semua gerakan tubuh yang dilakukan agar pikiran kita merasa nyaman.

Misalnya saja begini. Sebut saja kita seorang yang penakut. Suatu pagi, kita dipanggil menghadap bos, yang memang punya sifat pemarah. Apalagi, kita sudah tahu alasan kita dipanggil, yaitu bahwa kita telah salah bikin laporan keuangan.

Bisa jadi, kita tambah takut, gemetar, dan kaget sewaktu nama kita disebut. Dalam kondisi demikian, beranikah kita menatap mata bos tersebut? Jelas tidak! Sebab, umumnya orang yang bersalah sering memalingkan tatapan mata ke bawah. Hal itu membuat kita merasa nyaman, alih-alih menantang mata bos yang tertuju kepada kita.

Sebaliknya, andaikan kita menjumpai lawan jenis yang berparas rupawan, sewaktu kita mengobrol satu meja dengannya, apakah kita merasa nyaman memandangnya berlama-lama? Tentu saja! Hal itu tentu bisa dimaklumi.

Seperti kata Anthony Robbins, satu sifat dasar manusia ialah "mencari nikmat, menghindari sengsara." Makanya, kita akan melakukan apapun agar memperoleh perasaan nyaman, termasuk melakukan gerakan-gerakan tertentu.

Gerakan itulah yang banyak dijabarkan oleh James Borg. James menyebut sejumlah aktivitas di mata, wajah, mulut, hidung, tangan, tungkai, hingga vokal.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Satu hal yang unik dari bahasan itu ialah sentuhan di wajah. James menjelaskan bahwa orang-orang yang mudah gelisah lebih sering menyentuh wajahnya. Menurut James, sentuhan di wajah bisa meredakan badai keresahan yang terjadi.

Pada akhirnya, kedua aspek itulah yang bisa menjadi "barometer" dalam menentukan suatu kebohongan. Dengan memahami, menguasai, dan menerapkan aspek tersebut, setidaknya, kita mencium gelagat kebohongan yang dilakukan seseorang.

Namun, secermat-cermatnya kita membaca kebohongan seseorang, kita masih tetap saja sulit menguak emosi terdalam dari diri orang tersebut. Seperti kata-kata Harper Lee dalam novel To Kill A Mockingbird, 

Kita tidak akan bisa memahami perasaan seseorang, sampai kita mengenakan pakaiannya, menjalani hidupnya, dan bahkan menjadi dirinya!

Salam.

Adica Wirawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun