Suatu ketika, setelah menutup telepon, wajah teman saya terlihat "bingung". Saya yang menyaksikan perubahan ekspresi tersebut sudah bisa "menebak" situasi yang terjadi. Permintaan untuk kamar inap di sebuah rumah sakit rujukan yang diajukan teman saya lewat telepon tadi sepertinya ditolak. Sewaktu saya menanyakannya, ia pun mengiyakan hal tersebut.
Namun demikian, yang membikin saya bingung ialah alasan penolakan dari pihak rumah sakit itu. Pasalnya, pihak rumah sakit itu menjelaskan bahwa kamar yang tersedia sudah penuh untuk pasien yang memakai layanan jaminan kesehatan nasional, seperti BPJS Kesehatan. Namun, untuk yang memiliki asuransi atau yang membayar dengan uang pribadi, masih ada kamar yang bisa dipakai.
Dari situ saya sudah bisa "menangkap" perlakukan yang berbeda di antara pasien. Pasien yang pengobatannya ditanggung oleh asuransi atau biaya pribadi seolah mendapat "jalan tol" untuk mengakses layanan rumah sakit. Sementara itu, pasien yang hanya mengandalkan jaminan kesehatan nasional harus "berebut" layanan di rumah sakit dengan susah payah.
Perlakuan yang terkesan "diskriminatif" tersebut umum dijumpai di sejumlah rumah sakit. Hal itulah yang terkadang membikin saya miris. Apalagi kalau kita melihat kenyataan bahwa perlakuan demikian telah terjadi bertahun-tahun. Sepertinya masih banyak sekali "PR" yang harus dikerjakan dan dibenahi, terutama oleh BPJS Kesehatan, yang bertugas memastikan kesetaraan layanan bagi para pesertanya.
Negara Hadir Menyediakan Layanan Kesehatan untuk Warganya
Biarpun demikian, kehadiran layanan BPJS Kesehatan telah banyak membantu pesertanya dalam pengobatan. Sebut saja kasus yang dialami oleh tante saya. Pada tahun lalu, tante saya harus menerima "kenyataan pahit bahwa di kepalanya terdapat tumor. Akibat keberadaan penyakit itu, penglihatannya terganggu. Beberapa rumah sakit pun dikunjungi sebagai upaya pengobatan.
Hal itu tentunya menguras keuangan keluarga. Pasalnya, jasa dokter spesialis saja sudah sedemikian "mahal", apalagi biaya pemeriksaan MRI, pengecekan laboratorium, dan obat-obatan yang harus dibeli untuk menyembuhkan penyakitnya. Semua itu menjadi "beban" tersendiri yang harus ditanggung oleh pihak keluarga.
Namun demikian, "beban" itu jauh berkurang karena tante saya adalah peserta Bpjs Kesehatan. Lewat layanan yang diberikan, semua ongkos pemeriksaan dan pengobatan ditanggung sepenuhnya alias gratis. Pada saat itulah, saya merasakan kehadiran negara dalam menyediakan layanan kesehatan bagi warganya.
Hal itu tentu jauh lebih baik daripada situasi beberapa dekade silam. Sebab, pada masa lalu, mayoritas warga harus menanggung "beban" kesehatan sendiri-sendiri. Saya jadi teringat kasus yang dialami mendiang nenek saya, yang mengidap kanker serviks puluhan tahun lalu.
Pada saat itu, pihak keluarga berkumpul dan berunding tentang cara pengobatan dan pembiayaannya. Akhirnya, semuanya sepakat mengobati nenek saya bersama-sama dan menanggung biayanya secara patungan. Biarpun sudah mengumpulkan uang bersama-sama, tetap saja hal itu belum mencukupi biaya pengobatan di rumah sakit yang terbilang mahal.
Akhirnya, setelah uang yang tersedia hampir habis, pihak keluarga hanya bisa merawat nenek saya di rumah sampai beliau meninggal dunia. Makanya, kehadiran BPJS Kesehatan sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya.