Sejak bekerja di sebuah perusahan startup, saya merasa lebih banyak mengandalkan "otak" daripada "otot". Maklum saja, sehari-harinya, saya lebih sering berkutat di depan laptop untuk membuat konten video dan merampungkan soal-soal. Makanya, sewaktu saya menceritakan rutinitas harian saya di kantor kepada beberapa teman-teman, saya sering melontarkan guyonan. "Saat orang-orang bekerja 'memeras keringat', gue malah lebih banyak 'memeras ide'." Hahahahahahahahaha.
Hal itu tentunya bukanlah hal yang berlebihan. Sebab, demikianlah kenyataannya di "lapangan". Alih-alih "bekerja keras", di kantor, saya lebih sering "berpikir keras". Namun demikian, tentunya saya tidak sendirian mengalaminya. Pasalnya, teman-teman saya yang bernaung di bawah departemen yang sama pasti merasakannya juga. Bahkan, kalau menengok departemen lain, seperti divisi IT, semua stres yang saya peroleh sepertinya bukan apa-apa!
Situasi serupa pastinya terjadi pula dengan startup-startup lainnya baik yang baru saja mulai maupun yang sudah bertahan sekian tahun. Fenomena itu memang tampak lumrah bagi setiap perusahaan startup. Bahkan, sewaktu dulu Larry Page dan Sergei Brin memulai proyek Google pada tahun 1996-1997, keadaan demikian terlihat jelas.
Namun demikian, dengan ekosistem digital yang telah bertumbuh di Amerika Serikat, produk yang berkualitas baik, dan kepecayaan dari sejumlah investor, Google berhasil melewati semua tantangan yang menghadang laju mereka, dan selebihnya adalah sejarah.
Seperti sebuah tsunami, "dentuman gelombang digital" yang melanda Silicon Valley sekitar dua puluh tahun yang lalu kemudian menimbulkan riak, dan riak tersebut menyebar dan baru menyentuh Indonesia pada tahun 2005. Makanya, sejak saat itu, mulai muncullah sejumlah startup-startup karya anak bangsa, seperti Tokopedia, Traveloka, dan Gojek. Bahkan, hingga saat ini, jumlah startup di tanah air mencapai sekitar 10.000 dan diprediksi akan meningkat 6,5% menjadi 13.000 pada tahun 2020, sebagaimana dilansir dari markplus.co.id.
Perkembangan Startup Membawa "Angin Segar" bagi Industri Kreatif di Tanah Air
Pertumbuhan tersebut tentunya menjadi kabar gembira bagi industri kreatif di Indonesia. Sebab, model bisnis startup termasuk ke dalam subsektor industri kreatif yang ditetapkan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Sekadar informasi, Bekraf sudah memetakan enam belas wilayah industri kreatif, yaitu (1) aplikasi dan pengembangan permainan, (2) arsitektur, (3) desain interior, (4) desain komunikasi visual, (5) desain produk, (6) fesyen, (7) film, (8) fotografi, (9) kriya, (10) kuliner, (11) musik, (12) penerbitan, (13) periklanan, (14) seni pertunjukan, (15) seni rupa, dan (16) televisi dan radio.
Apalagi perkembangan ekonomi kreatif didukung oleh sejumlah faktor. Faktor pertama yang menunjang perkembangan tersebut adalah "ekosistem digital" yang sudah terbentuk di masyarakat. Ekosistem tersebut dapat dicermati dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, kalau dulu sulit memesan kendaraan untuk pergi suatu tempat, kini telah tersedia aplikasi taksi dan ojek daring yang bisa dimanfaatkan. Keberadaan moda transportasi berbasis daring demikian tentunya mengefisiensikan ongkos dan waktu dalam mencapai lokasi tujuan.
Sementara itu, sekarang masyarakat pun dapat membeli barang tanpa harus keluar rumah karena telah "bertebaran" situs-situs toko daring yang menawarkan layanan yang "memanjakan" konsumen. Kemudian, ingin berlibur, tetapi bingung mengatur dana, penginapan, atau tiket? Kini telah ada sejumlah aplikasi khusus traveling, yang memberikan pelbagai promo destinasi wisata.
Belum lagi semua kemudahan bertransaksi yang bisa diperoleh lewat layanan e-banking. Semua itu memperlihatkan kalau masyarakat Indonesia sedang menikmati "sentuhan digital" dalam setiap lini kehidupan.
Faktor kedua ialah bahwa masyarakat indonesia akan menikmati bonus demografi yang berlangsung dari tahun 2020 sampai 2030. Bonus demografi adalah sebuah situasi yang mana jumlah anak muda lebih banyak daripada orang tua. Makanya, selama periode bonus demografi, akan ada banyak anak muda yang mendominasi masyarakat. Para pemuda tersebut umumnya tergolong sebagai Generasi Milenials dan Generasi Z. Oleh sebab itu, kids zaman now akan "berkuasa" selama periode bonus demografi. Hahahahahahahahahahaha.
Oleh karena itu, kaum muda tentunya perlu mengasah kreativitas agar mampu bertahan dan bersaing dalam percaturan ekonomi digital. Namun, bagaimana cara kita mengasah kreativitas yang dimiliki?
Bagaimana Cara Menjadi "Creative People"?
Saya mengakui sendiri bahwa kreativitas menjadi satu "modal" saya saat bekerja di perusahaan startup. Sebab, budaya kerja di kantor saya terasa sangat "dinamis". Makanya, sewaktu sibuk menyelesaikan suatu tugas, kita harus bersiap-siap disela oleh tugas lain yang lebih penting. Stres? Tentu saja. Sebab, hal itu membikin tugas bertumpuk-tumbuk. Apalagi, sistem deadline terus "membayangi" karyawan manakala kami akan merilis produk yang baru.
Makanya, di situlah kreativitas seseorang "memainkan" perannya. Tanpa kreativitas yang tajam, jangan harap kita bisa menciptakan lebih banyak konten yang unik. Oleh sebab itu, jauh sebelum bekerja di kantor tersebut, saya sudah "menempa" kreativitas saya di "Kawah Candradimuka". Hahahahahahahahahahahahaha.
Sejak dulu, saya selalu tertarik terhadap topik kreativitas. Makanya, saya senang membaca buku yang "membedah" kreativitas dari penulis kondang seperti Tony Buzan dan Micheal Michalko. Lewat buku-buku itulah, saya mengetahui bahwa kreativitas ternyata bisa dilatih dan dikembangkan dengan sejumlah cara.
Satu cara untuk "mendongkak" kreativitas adalah dengan membuat catatan di buku harian. Hampir semua seniman, pebisnis, dan pemimpin yang kreatif mempunyai buku catatan. Sebut saja Richard Branson, pendiri Virgin Airway, yang sering bepergian membawa buku catatan harian. Di situlah Branson terbiasa menuliskan inspirasi manakala menjumpai ide unik untuk mengembangkan bisnisnya. Berkat tindakan sederhana itu, maskapai yang dikelolanya mampu berkembang dengan pesat.
Kemudian, almarhum Sam Walton, pendiri Wal-Mart, juga sering menggunakan buku catatan untuk mendokumentasikan ide-ide kecil yang terlintas di kepalanya. Biarpun tidak semua ide-ide itu terealisasi, beberapa ide tersebut telah berdampak pada pertumbuhkan bisnis Wal-Mart.
Makanya, saya pun terbiasa membawa buku catatan ke mana-mana. Selain mengikuti "jejak" orang-orang hebat tersebut, buku catatan harian memudahkan saya mengatur pekerjaan. Lewat buku itu, saya bisa memetakan dan mengurutkan pekerjaan di kantor. Hasilnya? Semua tugas yang mesti dirampungkan bisa terorganisasikan dengan baik tanpa terlewat.
Kayu Putih Aroma Mampu "Menstimulus" Kreativitas?
Namun demikian, kreativitas bisa mandek manakala tubuh terserang penyakit. Ternyata ungkapan mens sana in copore sano (dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat) masih berlaku. Makanya, agar "keran" kreativitas dapat mengucur terus, kita harus menjaga baik-baik kondisi tubuh.
Untuk itulah saya sering membawa Kayu Putih Aroma (KPA) ke kantor. Produk tersebut bermanfaat manakala tubuh saya terasa lemas akibat terkena masukangin. Maklum saja, karena perjalanan pulang-pergi yang lumayan jauh, tubuh gampang terserang masukangin. Apalagi kini telah tiba musim hujan, penyakit lain bisa ikut masuk menjangkiti badan.
Apalagi produk tersebut punyai nilai tambah, yaitu adanya aromaterapi. Aroma itulah yang bisa "memompa" kreativitas dalam bekerja. Sebab, aromaterapi, yang dihasilkan dari minyak bunga lavender, seperti terkandung dalam KPA, bisa menenangkan pikiran manakala kita mengalami kecemasan dan stres yang berlebihan. Aroma tersebut mampu mengendalikan sistem saraf simpatis, yang bertanggung jawab atas respon stres dan gejala fisik, seperti tangan berkeringat dan jantung berdebar-debar.
Sehari sebelumnya, saya sudah menyiapkan diri agar tampil baik. Namun, jelang on air, tubuh saya terasa agak berat dan kantuk. Saya telah mencoba tidur sejenak, tapi hal itu tidak memberi dampak yang berarti. Sepertinya saya terkena masukangin.
Oleh sebab itu, kemudian saya mengambil KPA di dalam tas, dan mengoleskannya di leher saya. Rasa hangat terasa di leher saya. Sesaat otot di sekitar leher menjadi kendur dan rileks. Kemudian tercium pula wangi bunga lavender, yang menenangkan pikiran yang sebelumnya kacau. Saya merasa agak mendingan dan kreativitas saya berfungsi normal kembali. Akhirnya, sewaktu diminta tampil, semuanya berjalan sesuai rencana.
Makanya, bagi saya, kehadiran Kayu Putih Aroma bisa membantu kemunculan kreativitas terutama sewaktu saya sedang membutuhkannya. Hingga, akhirnya, saya memiliki kondisi yang prima untuk "melibas" semua pekerjaan di kantor secara kreatif.
Salam.
Referensi:
"Inilah Tiga Subsektor Industri Kreatif yang Menjadi Unggulan Perekonomian Kreatif", kumparan.com, diakses pada tanggal 21 Desember 2017.
 "Sederet Manfaat Aromaterapi bagi Kesehatan Tubuh, Relaksasi hingga Redakan Nyeri", okezone.com, diakses pada tanggal 21 Desember 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H