Pada minggu lalu, saya "ngidam" ingin menonton film Coco. Apalagi, setelah membaca artikel seorang kompasianer yang mengulas film tersebut pada minggu lalu, perasaan "ngidam" itu terasa semakin kuat sehingga "memaksa" kaki ini berangkat ke sebuah bioskop di kawasan Bekasi pada Sabtu petang kemarin.
Film Coco diawali dengan sebuah narasi yang disampaikan oleh Miguel, seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun, yang menjadi tokoh utama dalam film tersebut. Lewat narasi yang dirajut dengan animasi yang apik, Miguel menceritakan bahwa keluarganya memiliki tradisi yang unik. Mereka semua "membenci" musik. Setelah ditelusuri, kebencian itu ternyata muncul sejak nenek buyutnya, yaitu Mama Imelda Rivera, melarang semua turunannya untuk berkarier sebagai musisi.
Hal itu tentu bisa dimaklumi. Sebab, suaminya, yang akan terungkap jelas identitasnya pada akhir cerita, lebih memilih musik daripada keluarganya. Makanya, suaminya kemudian tega meninggalkan Imelda demi mengejar impian menjadi musisi "papan atas".
Imelda yang sempat kecewa berat lalu "bangkit" memperbaiki hidupnya. Sendirian dia merawat dan mendidik Coco, putri semata wayangnya, dengan menjadi pembuat sepatu. Sejak saat itu, dimulailah "dinasti" keluarga pembuat sepatu yang diwariskan turun-temurun.
Namun demikian, tradisi itu mendapat "ancaman" dari Miguel, yang secara terang-terangan menyatakan kecintaannya pada musik. Di kamar rahasianya, Miguel menyimpan semua foto Ernesto de la Cruz, musisi idolanya. Namun, begitu mengutarakan niatnya untuk menjadi musisi kondang, seperti Ernesto, Miguel justru mendapat tentangan hebat dari keluarganya. Pada "titik" itulah, Miguel harus menentukan pilihan: musik atau keluarga.
Miguel akhirnya memilih musik dan minggat dari rumahnya. Dia pergi ke alun-alun kota. Di sana sedang diadakan sebuah kompetisi nyanyi dalam rangka perayaan Hari Kematian yang biasa diperingati setahun sekali di Meksiko, dan Miguel ingin betul mengikutinya. Namun, sayangnya, dia tak punya gitar sehingga ditolak tampil oleh panitia.
Bersama Dante, sekor anjing kampung yang berkulit abu-abu, Miguel kemudian pergi ke makam Ernesto de la Cruz untuk "meminjam" gitar milik musisi pujaan hatinya itu. Sewaktu dia mencoba memainkan lagu dengan gitar itu, keanehan pun terjadi. Fisik Miguel berubah wujud, dan dia bisa melihat arwah di sekitar pekuburan. Sejak saat itulah, petualangannya di Negeri Orang Mati dimulai.
Sebagai satu film "besutan" Disney (juga Pixar tentunya), sudah sepantasnya Coco disandingkan dengan film-film Disney lainnya, macam Brave, Frozen, Inside Out, dan Zootopia. Makanya, kita boleh menyebut bahwa film Coco adalah "kandidat kuat" peraih Oscar pada tahun depan.
Hal itu bisa saja terjadi. Sebab, selama lima tahun terakhir, film-film Disney yang disebutkan di atas sukses menyabet Piala Oscar di kategori Film Animasi Terbaik. Sekadar informasi, Brave mendapat Oscar pada tahun 2013, Frozen pada tahun 2014, Inside Out pada 2016, dan Zootopia pada 2017. Hanya satu kali Disney absen "memanen" Oscar, yaitu pada tahun 2015, yang "jatuh" ke tangan Big Hero 6.