Namun, khusus pada saat itu, mereka datang menampakkan wujudnya. Di sela dedaunan Pohon Rasamala, Owa Jawa yang bertubuh mungil dan berbulu abu-abu terlihat bergelayutan bersama keluarganya.
Tanpa menghiraukan kami---turis dari kota yang agak "udik" karena baru menjumpai pemandangan demikian---mereka tampak nyaman bermain bersama anak-anaknya.
Owa Jawa memang hidup berkeluarga, bukan berkelompok layaknya monyet. Makanya, Owa Jawa jantan hanya punya satu pasangan dan ia akan terus mencintai betinanya seumur hidup alias monogami.
Di basecamp petugas konservasi, kami berkumpul mendapat penjelasan dari Ibu Badiyah. Ibu Badiyah adalah staf konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang sudah paham betul kondisi hutan tempat Owa Jawa direhabilitasi dan dilepasliarkan.
Bersama Kang Igud, kami kemudian memasuki "sarang" mereka. Saya sebetulnya agak waswas sepanjang jalan. Mata saya terus saja menyusuri semak, takut kalau-kalau ada Macan Tutul yang "terbang" ke muka saya. Hahahahahahahahahahahaha.
Namun, hal itu tidak terjadi! Pasalnya, Kang Igud berkata bahwa Macan Tutul biasanya akan lari ketakutan manakala menjumpai manusia. Buktinya, lelaki berusia sekitar 30an itu masih selamat setelah beberapa kali berjumpa langsung dengan macan tutul saat mengawasi hutan.
Namun demikian, kami beruntung bisa menyaksikan Elang Jawa yang tengah terbang. Biarpun hanya bisa dilihat dari jarak jauh, kesempatan itu jarang didapat.
Di sepanjang trayek sejauh 1,3 kilometer itu, Kang Igud sempat menunjukkan sejumlah tanaman obat yang tumbuh secara alami di hutan. Misalnya tanaman Pakis Rane yang kami jumpai ternyata berkhasiat meredakan maag dan meredam sakit pascamelahirkan.
Spot Rehabilitasi dan Pelepasliaran