Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Galau Terlalu Banyak "Rezeki"

24 Oktober 2017   10:07 Diperbarui: 24 Oktober 2017   10:55 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.liputan6.com

Sejak beberapa bulan belakangan, saya sibuk "menggarap" beberapa pekerjaan sekaligus. Selain pekerjaan utama saya di sebuah startup, pada waktu senggang, saya berusaha menyelesaikan beberapa proyek yang ditawarkan kepada saya.

Awalnya, saya menyanggupinya. Bagi saya, tawaran itu adalah "pintu masuk" bagi rezeki. Makanya, saya mesti membukanya selebar mungkin agar makin banyak rezeki yang datang "berlalu lalang".

Namun demikian, setelah mencoba menyelesaikannya, saya merasa perlu "sedikit" menutup pintu tersebut. Bukannya saya tidak mensyukuri rezeki yang datang, melainkan saya menghargai klien saya.

Pasalnya, kalau sudah berjanji, saya berupaya menyelesaikan suatu proyek sesuai jadwal, biarpun waktu istirahat saya "tersita" dan liburan saya "tertunda" sekian minggu. Semua itu dilakukan atas nama "profesionalisme".

Selain itu, saya juga mempertimbangkan "kualitas" hasil kerja saya. Pasalnya, saat mengerjakan sejumlah proyek sekaligus, konsentrasi saya mudah terpecah.

Ibarat membuat masakan, seperti soto, bakso, mie ayam, kuetiaw, dan nasi goreng di dapur yang sama, saya berusaha mengerjakan semua tugas secara bergantian. Makanya, saya berharap bahwa saat satu tugas rampung, tugas lainnya pun selesai secara bersamaan.

Hasilnya? Tentu saja, saya merasa sangat sibuk, sangat stres, dan sangat lelah mengerjakannya. Belum lagi, saya melihat bahwa hasil kerja saya belum optimal. Hal itu tentunya bisa membikin klien kecewa terhadap hasil kerja saya. Lagi-lagi sikap profesional saya "diuji".

Makanya, kemarin, sewaktu mendapat tawaran proyek lanjutan, dengan berat hati, saya menolaknya. Nah, itulah yang kemudian bikin saya "galau". Apakah dengan menolak tawaran tersebut, saya sudah "menutup" pintu bagi rezeki?

Kesehatan Adalah Sebuah Rezeki (Tersamar)

Barangkali mayoritas orang setuju dengan penyataan bahwa kesehatan adalah sebuah rezeki. Namun, anehnya, mengapa banyak orang yang mengabaikan kesehatan dan lebih mengutamakan rezeki lainnya?

Pertanyaan itu kemudian "melemparkan" pikiran saya pada isi buku The Art of Thingking Clearly, yang ditulis oleh Rolf Dobelli. Dobelli punya jawaban unik untuk menjawab pertanyaan itu.

Sederhananya, dia menerangkan bahwa alasan orang-orang mengesampingkan kesehatan adalah karena mereka belum jatuh sakit. Itu saja. Singkat. Jelas. Tepat. Kalau sudah sampai "berlibur" di rumah sakit, barulah kita menyadari betapa pentingnya kesehatan.

Kurang percaya? Berkunjunglah ke rumah sakit. Dalam banyak kesempatan, sewaktu membesuk teman yang diopname di rumah sakit, saya sering mendengar "cerita muram" mereka.

Pasalnya, mereka mengeluhkan bahwa dirawat di rumah sakit itu enggak ada enaknya. Makanan yang diberikan terasa tawar dan itu-itu saja. Tubuh terasa linu lantaran sulit bergerak bebas.

Pada titik itulah, terkadang saya menyadari bahwa harapan untuk memperoleh kesehatan jauh lebih besar daripada harapan apapun. Buktinya, jarang saya melihat teman-teman saya sibuk memikirkan pekerjaan saat terbaring di bangsal rumah sakit.

Atas alasan itulah, saya kemudian memutuskan menolak tawaran pekerjaan itu. Pasalnya, saya melihat bahwa kesehatan jauh lebih penting dari tawaran tersebut. Jadi, kalau kesehatan dianggap sebuah rezeki, apakah saya masih disebut menutup pintu rezeki dengan menolak tawaran proyek yang datang? Entahlah.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun