Pasalnya, saat mulai tinggal bersama di sebuah rumah, perubahan jelas terjadi. Bisa saja dia merasa kurang nyaman karena suasana rumah baru yang ditinggalinya jauh berbeda dengan lingkungan tempat tinggalnya terdahulu.
Bisa juga dia terus mengeluh bahwa tempat tinggalnya kurang pas, kurang enak, dan kurang cocok ditinggalinya. Sederhananya, dia susah move on dari tempat tinggalnya yang dulu.
Makanya, boleh dibilang kalau dia sulit beradaptasi dengan perubahan, yang jelas-jelas akan terjadi sewaktu pasangan mengarungi bahterah rumah tangga. Kalau sudah terjadi demikian, bisakah kita terus tinggal serumah dengan pasangan yang terus mengeluh seperti itu?
Untuk itulah kita perlu mengujinya dengan mengajaknya ke suatu tempat di alam terbuka sebelum kita menjadikannya pendamping hidup. Biarlah respon yang diperlihatkannya menjadi bahan penilaian kita.
Bersediakah dia diajak makan di pinggir jalan?
Sewaktu teman saya menyebutkan poin tersebut, saya sempat "garuk-garuk kepala". Namun, setelah mendengar penjelasannya lebih lanjut, saya lebih mahfum. Pasalnya, cara tersebut bertujuan menguji apakah dia "gengsi" makan di emperan jalan.
Lebih lanjut, teman saya mengatakan bahwa sewaktu berkeluarga, tidak bisa selamanya kita menyantap makanan enak terus. Apalagi kalau ekonomi keluarga sedang "seret", mau-tidak mau, kita mesti membatasi "gaya" makan kita.
Misalnya, kalau biasanya kita nongkrong di Starbucks untuk menyeruput segelas kopi yang "nikmat" dan "mahal", setelah terjadi perubahan ekonomi, bersediakah kita hanya menikmati segelas kopi tubruk di warung kopi?
Bagi saya, itu soal pilihan, dan pilihan tersebut bisa menjadi "bahan pertimbangan", termasuk dalam memilih pasangan.
Bersediakah dia menerima hadiah layak berharga murah dari kita?
Lagi-lagi itu menyangkut soal "gengsi". Pernahkah pembaca menjumpai seseorang yang enggan menerima pemberian berharga murah dari seseorang? Kalau pun pernah, dia pasti mengambilnya dengan ekspresi kurang senang.