Kemarin sore, setelah pulang dari acara Nangkring Kompasiana, saya menyempatkan diri mengunjungi Indonesia International Book Fair (IIBF) 2017 di Balai Sidang Jakarta. Sebetulnya saya sudah menantikan acara tersebut beberapa bulan sebelumnya. Makanya, saya "menaruh" ekspetasi besar pada event tersebut.
Saya berharap bahwa event tersebut akan sedahsyat Big Bad Wolf 2017 yang juga sempat saya kunjungi pada bulan April lalu di ICE BSD. Di pikiran saya sudah terbayang hal-hal "indah" bahwa di situ saya akan menjumpai "lautan" buku yang dipajang di stand-stand penerbit dengan harga yang sangat miring.
Maklum saja, sebagai seorang pecinta buku, pemandangan itu bahkan mungkin lebih menarik daripada lukisan Monalisa-nya da Vinci atau Sun Flower-nya van Gogh. Makanya, harapan itu terus "menggembung" layaknya balon.
Apalagi, di pintu masuk, saya melihat banyak orang berduyun-duyun memasuki lokasi. Wah! Saya tambah semangat. Saya merasa sudah siap memborong lusinan judul buku pada event itu. Tidak sia-sia saya menyiapkan bag dari rumah untuk menyimpan buku manakala buku yang dibeli tidak muat dimasukkan di tas yang saya bawa!
Apakah buku-buku yang dibanderol "murah" sudah habis "disikat" pembeli lain? Bisa jadi. Soalnya, saya datang ke situ pada tanggal 9 September. Maklum saja, event itu sendiri sudah dibuka sejak tanggal 6 dan akan ditutup pada tanggal 10 september. Wah! Kalau begitu, saya sudah disalip orang nih. Hahahahahahaha.
Apalagi, pada hari pembukaan, telah hadir sejumlah tokoh besar di negeri ini, seperti Ibu Sri Mulyani, Ibu Susi Pudjiastuti, serta salah seorang penyair favorit saya, Sapardi Djoko Damono. Sayang ya Pak Sapardi, kita belum sempet bertemu. Padahal, hati ini ingin bapak menandatangi buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni, yang tak lekang digerus zaman itu. Mungkin kali lain kita bisa bersua sambil minum kopi. Hehehehehehehehe.
Biarpun ada embel-embel "international boof fair"-nya, pada event itu, saya malah hanya mencermati sejumlah penerbit dari beberapa negara, seperti China, Jerman, dan Arab Saudi. Di antara stand negara-negara tersebut, stand dari Arab Saudi-lah yang menyedot perhatian. Di situ, saya menyaksikan puluhan orang antre berbaris untuk mendapat tanda tangan penulis asal Arab Saudi yang kurang begitu saya kenal namanya.
Namun demikian, kondisi sebaliknya justru tampak di stand-stand lainnya. Di stand penerbit asal China misalnya saya melihat jarang orang yang datang berkunjung. Makanya, di situ, orang hanya sekadar lewat tanpa tertarik oleh produk kebudayaan yang ditawarkan.
Konsep acara pada IIBF 2017 memang berbeda dari sebelumnya. Panitia tampaknya sengaja mengemas ulang konsep Book Fair. Bisa saja panitia beranggapan bahwa untuk membangun budaya literasi, kita tak mesti membaca buku. Lewat diskusi dan talkshow yang diselenggarakan, kita juga dapat menumbuhkan kesadaran dalam berliterasi.
Namun demikian, saya merasa ada yang perlu dibenahi. Misalnya saja, pengaturan stand-stand layak diperhatikan. Kalau bisa, kurangi pemakaian sekat. Soalnya, begitu pengunjung membeludak jumlahnya, hanya tersedia sedikit ruang gerak di stand tersebut. Makanya, saya agak kurang nyaman memilih buku karena harus berdesakan dengan pengunjung lain akibat ruangan dipenuhi sekat.
Soal harga? Tentu saja lebih murah, kalau bisa. Biar buku semakin terjangkau oleh masyarakat. Biar kita semua senang membaca buku.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H