Saya rasa untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu memikirkan semua variabel yang mungkin dipilih, sebab terkadang orang yang disurvei bisa saja bingung menentukan "alasan" untuk bahagia.
Lho kok bisa? Menurut saya, semua itu dapat terjadi lantaran ada suatu "bias" dalam memaknai kebahagiaan. Untuk membuktikannya, tanyalah pada lima orang yang lewat di stasiun, terminal bus, atau tempat umum lainnya: "Apa yang bikin anda happy?" Jawabannya pasti bermacam-macam. Dari situ sebetulnya kita tak bisa "pukul rata" terhadap tingkat kebahagiaan suatu masyarakat.
Lagipula, kalau para lajang di Indonesia dinilai sudah hidup senang, enak, dan bahagia, mengapa situs pencari jodoh, macam tinder, setipe,dan cinlok, punya ribuan member? Apa mereka ingin "menurun"kan tingkat kebahagiaan mereka dengan mulai hidup berpasangan dan berkeluarga? Hahahahahahaha.
Makanya, sampai sekarang, saya merasa bahwa survei tentang tingkat kebahagiaan suatu masyarakat perlu dikaji lagi, sebab variabel yang dipakai sangatlah luas dan beragam. Selain itu, koresponden yang ditanya pun mesti diseleksi betul-betul agar bias terhadap makna kebahagiaan dapat diminimalkan.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com  Â
Referensi:
"Survei BPS: Orang Lajang Indonesia Paling Bahagia," cnnindonesia.com, diakses pada tanggal 21 Agustus 2017.
"Panduan Mencapai Kebahagiaan ala Dalai Lama," nationalgeographic.co.id, diakses pada tanggal 21 Agustus 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H