Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Hantu" yang Bergentayangan di Lini Masa Media Sosial

16 Agustus 2017   11:18 Diperbarui: 17 Agustus 2017   08:49 1445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: https://twitter.com/BKKBNofficial

Dari situ kemudian terlihat "bayangan" dasar gunung es yang selama ini terbenam bahwa Indonesia disinyalir menjadi incaran kaum paedofil.

Pencegahan Berbasis Komunitas

Kasus tersebut jelas mengindikasikan bahwa media sosial sudah menjadi "lahan" yang dipakai oleh kaum paedofil untuk mengincar korbannya. Oleh sebab itu, orangtua harus proaktif membentengi anak-anaknya terhadap pengaruh media sosial demikian. Jangan sampai anaknya menjadi incaran para paedofil akibat kebablasan memakai media sosial.

Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah bisa orangtua terus mengawasi penggunaan medsos anaknya? Apakah orangtua mampu membatasi pemakaiannya pada zaman ketika jumlah medsos terus bertumbuh secara masif dari tahun ke tahun seperti saat ini?

Saya ragu bahwa orangtua dapat melakukannya. Agak sukar rasanya kalau orangtua mesti memantau medsos anaknya satu per satu. Jadi, apa yang mesti dilakukan agar si anak terhindar dari pengaruh negatif media sosial?

Pertanyaan itu sulit dijawab. Namun demikian, saya ingat pengalaman masa lalu yang mungkin saja bisa memberi sedikit jawaban. Sewaktu saya masih kecil, orangtua saya agak "longgar" dalam menetapkan peraturan yang harus dipatuhi. Orangtua saya juga tak terlalu mengekang kehidupan sosial saya. Orangtua saya membolehkan saya untuk bergaul dengan siapapun.

Makanya, saya kemudian bergaul dengan banyak orang tanpa pilih-pilih sama sekali. Namun, suatu ketika, orangtua saya tiba-tiba saja marah sewaktu mengetahui kalau saya sudah berteman dengan seorang anak. Sebut saja dia S. Saya sebetulnya sudah bersahabat cukup lama. Kami biasanya sering main sepakbola setiap sore di lapangan sebuah sekolah. Makanya, kemudian kami menjadi cukup akrab.

Sayangnya, pertemanan kami kemudian pupus lantaran orangtua saya tiba-tiba melarang saya bergaul dengannya. Alasannya agak aneh menurut saya. Mereka beralasan bahwa S tak berasal dari keluarga baik-baik. Sejak saat itu, saya berhenti berkomunikasi dengan S. Pun sebaliknya.

Bertahun-tahun kemudian, setelah lama tak berjumpa, saya kembali mendapat kabar soal S. Kali ini, yang datang justru kabar yang kurang enak didengar. S dikabarkan telah menghamili seorang gadis di luar nikah. Akibatnya, orangtua gadis itu memaksanya menikahi si gadis. Tak lama kemudian, mereka melangsungkan pernikahan dengan hanya dihadiri beberapa orang saja.

Saya agak kaget mendengar berita tersebut. Namun, dalam hati, saya bersyukur. Andaikan tetap nekad berteman dengan S, barangkali saya akan "terjebak" dalam pergaulan yang keliru seperti itu. Dari situ saya juga belajar bahwa orangtua ternyata perlu juga menyelidiki track record keluarga teman anaknya agar bisa mencegah sesuatu yang tak diinginkan pada kemudian hari.

Peristiwa itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu, jauh sebelum media sosial bertumbuh secara masif seperti saat ini, tetapi hikmah yang bisa diambil darinya masih terasa relevan, apalagi kalau kita menghubungkannya dengan kasus yang dialami oleh Nafa Urbach di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun