Sewaktu kemarin mengantre di sebuah bank, tanpa sengaja, mata saya melirik televisi yang tergantung di dinding. Televisi itu menampilkan sebuah berita tentang Nafa Urbach yang murka lantaran menemukan adanya komentar bernuansa negatif dari netizen setelah mengunggah foto putrinya di instagram.
Di komentar tersebut terdapat sebutan "loli" dan "lolitan" yang dialamatkan kepada anaknya. Sewaktu menelusuri makna kata itu, Nafa berang. Dia kemudian menduga bahwa pemilik akun yang menulis komentar itu adalah kaum paedofil yang berusaha mengincar anaknya. Makanya, dia berupaya melacak si pemilik akun dan berniat melaporkannya ke pihak berwajib.
Sebutan "loli" dan "lolitan" yang disinggung di atas memang punya kesan negatif. Sebutan itu biasanya dipakai oleh kaum paedofil sewaktu akan mengincar korbannya. Sebutan itu sudah sedemikian umum di kalangan paedofil, layaknya sebuah "sandi" yang hanya dipahami oleh masing-masing anggota komunitas. Namun demikian, cuma sedikit yang mengetahui "sejarah" di balik sebutan tersebut.
Jika merunut sejarahnya, kita akan mendapati bahwa sebutan itu sebetulnya "diambil" dari novel Vladimir Nabokov, yaitu Lolita. Novel yang terbit pada tahun 1955 itu mengisahkan petualangan cinta yang "ganjil" antara Humbert Humbert dan Lolita.
Humbert Humbert (nama samaran) adalah seorang lelaki paruh baya yang jatuh cinta pada anak tirinya sendiri. Pertemuan awal mereka terjadi ketika Humbert berkenalan dengan Charlotte Haze. Charlotte Haze adalah seorang ibu dari Lolita, seorang single parent.
Charlotte sebetulnya jatuh hati pada Humbert. Tak lama kemudian, mereka pun menikah. Namun demikian, pernikahan mereka hanya berlangsung singkat. Suatu hari, Charlotte membaca diari suaminya dan menemukan suatu fakta bahwa suaminya mencintai putrinya yang masih berusia 12 tahun!
Setelah semua "aib" tersebut terkuak, Humbert membawa kabur Lorita selama dua tahun. Mereka pergi mengelilingi amerika, menginap dari satu hotel ke hotel lainnya, dan menjalani kisah cinta yang aneh.
Saya tak begitu ingat akhir dari novel itu lantaran saya membacanya bertahun-tahun yang lalu. Namun demikian, saya kemudian mengetahui bahwa novel itu menjadi "inspirasi" dari terbentuknya istilah baru dalam psikologi. Makanya, kemudian muncul sejumlah istilah, seperti "paedofil", "paedofilia", "loli", dan "lolitan".
Namun, anehnya, semakin dilarang, semakin banyak pula orang yang penasaran ingin membacanya. Makanya, begitu diizinkan peredarannya kembali, novel itu berulang kali dicetak ulang.Â
Hal itu ternyata menarik minat sejumlah produser untuk memfilmkannya. Kemudian muncullah sejumlah film dengan judul yang sama, yaitu Lolita (1962) dan Lolita (1997).
Biarpun telah lama membacanya, saya tak pernah menyangka bahwa sejumlah elemen yang terdapat di dalam novel itu akan terkuak lagi pada masa kini. Apalagi, setelah muncul sejumlah kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh oknum guru dan staf sebuah sekolah bertaraf internasional di Jakarta.